THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Sabtu, 27 September 2008

BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Deskripsi Sapi Perah Fries Holland

Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa sapi perah Fries Holland telah diternakkan lebih dari 2000 tahun yang lalu dan berasal dari North Holland dan West Friesland. Menurut sejarahnya bahwa bangsa sapi Fries Holland berasal dari Bos taurus yang mendiami daerah beriklim sedang di dataran Eropah. Sebagian besar sapi tersebut memiliki warna bulu hitam dengan bercak-bercak putih, bulu ujung ekor berwarna putih, bagian bawah dari carpus (bagian kaki) berwarna putih atau hitam dari atas terus ke bawah dan di Belanda sendiri ada Fries Holland yang mempunyai warna coklat/merah dengan bercak-bercak putih (Gambar 1).

Produksi susu induk sapi perah periode laktasi sangatlah bervariasi. Hal ini disebabkan oleh perubahan keadaan lingkungan yang umumnya bersifat temporer seperti perubahan manajemen terutama pakan, iklim dan kesehatan sapi perah. Kondisi iklim di lokasi induk sapi perah dipelihara sangat berpengaruh terhadap kesehatan dan produksi susu. Suhu lingkungan yang ideal bagi ternak sapi perah adalah 15,5ºC karena pada kondisi suhu tersebut pencapaian produksi susu dapat optimal. Suhu kritis untuk ternak sapi perah Fries Holland adalah 27ºC (Foley, dkk., 1973) Ternak sapi perah Fries Holland yang berasal dari Eropah akan berproduksi optimal apabila kondisi suhu lingkungan berkisar 10º-21ºC, tetapi di Fiji dengan rataan suhu lingkungan 24,4ºC dan tingkat kelembaban relatif yang tinggi ternyata ternak sapi perah mengalami penurunan produksi (McIntyre, 1971).

Lama laktasi induk sapi perah umumnya bergantung pada keefisienan reproduksi ternak sapi tersebut. Ternak sapi perah yang terlambat menjadi bunting menyebabkan calving interval diperpanjang sehingga lama laktasi menjadi panjang karena induk sapi perah akan terus diperah selama belum terjadi kebuntingan. Foley, dkk (1973) dan Schmidt dan Van Vleck (1974) menyatakan bahwa lama laktasi yang ideal adalah 305 hari dengan masa kering (kering kandang) selama 60 hari. Hasil penelitian Spain dan Scheer, (2001) menunjukkan bahwa induk sapi perah yang dipelihara dalam kondisi panas selama masa kebuntingan memiliki performan produksi susu pasca partus (305 hari produksi susu) lebih rendah (2553 kg) dengan produksi susu puncak laktasi 39,7 kg dibandingkan kondisi dingin yaitu (2668,8 kg) dengan produksi susu puncak laktasi sebesar 41,4 kg.

Pada umumnya sapi perah Fries Holland jinak dan merupakan sapi tipe besar dengan bobot tubuh betina dewasa berkisar antara 540-680 kg dan yang jantan dapat mencapai 800 kg (Pane, 1986 dan Ensminger, 1991). Soedono dan Sutardi (1969) mengemukakan bahwa dari persilangan sapi perah Fries Holland dengan sapi lokal yang ada di Indonesia menurunkan sapi peranakan Fries Holland. Dalam perkembangannya di Indonesia, sapi perah Fries Holland telah mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan.

Berdasarkan laporan tahunan Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara bahwa kondisi performan reproduksi sapi perah peranakan Fries Holland yang dipelihara sebagai peternakan rakyat di daerah Lembang tahun 1996 menunjukkan bahwa service per conception sebesar 2,9 dan conception rate 48%, tetapi tahun 2006 service per conception sudah mencapai 1,58 dan conception rate sebesar 54,6.




2.2. Fisiologi Kebuntingan dan Kelahiran pada Sapi Perah

2.2.1. Fisiologi Kebuntingan Sapi Perah Betina

Hafez (2000) menyatakan bahwa kebuntingan adalah suatu periode fisiologis pasca perkawinan ternak betina yang menghasilkan konsepsi yang diikuti proses perkembangan embrio kemudian fetus hingga terjadinya proses partus yang berlangsung sekitar 278 hari. Perkembangan individu baru selama periode kebuntingan dibagi dalam (1) periode ovum yaitu periode dari sejak terbentuknya zigote, morula dan blastula hingga implantasi yang berlangsung antara 0-13 hari, (2) periode embrio yaitu periode dari perkembangan blastula hingga pembentukan sistem organ termasuk plasenta yang berlangsung antara 13-45 hari dan (3) periode fetus yaitu periode dari pembentukan sistem organ dan plasenta hingga partus yang berlangsung dari 45 hari hingga partus (McDonald, 1975; Peters dan Ball 1987).

Keberhasilan kebuntingan sangat ditentukan oleh beberapa proses penting di antaranya (1) folikel harus memiliki kemampuan menghasilkan sel telur yang mampu dibuahi dan mengalami perkembangan embrionik, (2) lingkungan oviduk dan uterus harus memiliki kelayakan untuk pengangkutan gamet, fertilisasi dan perkembangan embrio dan (3) corpus luteum harus mampu memelihara kebuntingan (Breuel, dkk., 1993). Sesaat setelah ovulasi maka sel telur akan segera masuk ke tuba fallopii melalui infundibulum. Secara berangsur-angsur perubahan fisiologi akan terjadi yaitu 8 jam setelah ovum mengalami fertilisasi dan embrio akan menuju uterus untuk menyiapkan perkembangan selanjutnya. Pembentukan membran plasenta sudah mulai terbentuk pada 15-17 hari setelah fertilisasi yang merupakan periode Maternal Recognation of Pregnancy dan bertujuan untuk mencegah pelepasan prostaglandin F dalam melisiskan corpus luteum sehingga keberadaan progesteron dapat dipertahankan dalam memelihara kebuntingan (Call, 1989; Beverly dan Sprott, 2004).

Beverly dan Sprott (2004) menyatakan bahwa kebuntingan dapat ditentukan dalam tiga tahap. Tahap pertama meliputi tahap kebuntingan 30-35 hari; 45 hari; 60 hari dan 90 hari. Kondisi embrio 30-35 hari kebuntingan memiliki panjang sekitar ½ inchi dan terdapat gelembung seperti balon yang berisi cairan dengan diameter ¾ inchi menyelimuti embrio. Usia kebuntingan 45 hari, cornua uteri berisi fetus yang memiliki panjang sekitar 1 inchi. Membran luar dari dinding uterus berisi cairan dan adanya pertautan antara karunkula dengan kotiledon dari membran fetus. Usia kebuntingan 60 hari, cornua uteri yang dihuni oleh fetus nampak membesar hingga mencapai diameter 2½-3½ inchi dan panjang 8-10 inchi. Hal tersebut akan menarik uterus ke dalam rongga tubuh hingga mencapai bagian pinggir dari pelvis.

Meningkatnya panjang fetus hingga mencapai 6½ inchi dan semakin beratnya beban uterus serta pembesaran pembuluh darah arteri uterus adalah merupakan karakteristik usia kebuntingan sudah mencapai 90 hari. Tahap kedua adalah kebuntingan 120 hari yaitu ukuran kepala sudah sebesar buah lemon, diameter arteri uterus mencapai ¼ inchi dan kotiledon lebih nyata dengan panjang sekitar 1½ inchi serta cornua uteri berdiameter 2-2½ inchi. Tahap ketiga adalah usia kebuntingan sudah mencapai lebih dari 5 bulan dan usia tersebut maka cornua uteri semakin masuk ke dalam rongga tubuh. Sejak usia kebuntingan 6 bulan hingga melahirkan maka ukuran fetus, arteri uterus dan kotiledon teraba lebih besar.

Untuk menyatakan keberhasilan kebuntingan dapat dilakukan beberapa langkah di antaranya (1) nonreturn rate yaitu mengamati tidak kembali estrus pada 18-24 hari pasca inseminasi, (2) palpasi rektal yaitu melakukan perabaan dengan tangan melalui rektum terhadap perubahan organ reproduksi pada 40-60 hari pasca inseminasi, (3) mengukur konsentrasi progesteron melalui air susu atau plasma darah pada 21-24 hari pasca inseminasi, (4) mammogenesis yaitu mengamati perkembangan kelenjar susu pada usia kebuntingan 4 bulan (Peters dan Ball, 1987), (5) early conception factor test yaitu mengetahui kebuntingan melalui glikoprotein dalam serum darah pada 48 jam pasca inseminasi dan (6) Ultrasonography yaitu alat yang digunakan dalam mengetahui kebuntingan melalui gelombang suara pada 9 atau 12 hari pasca inseminasi (Broaddus dan de Vries, 2005). Hasil penelitian menunjukkan bahwa teknik untuk mengetahui kebuntingan dini yang memiliki tingkat akurasi tinggi adalah palpasi rektal dan ultrasonography walaupun memerlukan waktu agak lama (Broaddus dan de Vries, 2005).

2.2.2. Fisiologi Kelahiran Sapi Perah Betina

Hafez (2000) menyatakan bahwa kelahiran atau partus adalah proses pengeluaran fetus dan plasenta dari uterus induk sapi bunting. Tahapan proses kelahiran meliputi (1) terjadi dilatasi cervix dan masuknya fetus ke dalam cervix. Adanya pelunakan dan pelebaran cervix menandakan bahwa fetus sudah berada di dalam cervix dan sekitar 2-6 jam lagi maka induk akan partus, (2) pengeluaran fetus yang berlangsung sekitar 0,5-2 jam, (3) pengeluaran plasenta yang umumnya berlangsung sekitar 3-5 jam pasca partus. Kejadian pelunakan dan pelebaran cervix serta pengeluaran fetus pada sapi paritas pertama memerlukan waktu yang lebih lama dibanding sapi yang sudah beberapa kali partus (Bearden dan Fuquay, 1992).

McDonald (1975) dan Hafez (2000) menyatakan bahwa mekanisme kelahiran merupakan peristiwa kompleks karena berhubungan dengan proses endokrin, neural dan mekanik. Corpus luteum dari ovarium merupakan sumber utama progesteron saat dimulainya kebuntingan karena peranannya dalam memelihara kebuntingan. Namun saat akhir kebuntingan serta seiring dengan membesarnya plasenta maka aktivitas corpus luteum semakin menurun dan perannya digantikan oleh plasenta sebagai sumber progesteron (Shemesh, 2006).

Pada 20 hari hingga 2 hari menjelang partus, konsentrasi progesteron secara berangsur mengalamai penurunan. Hal ini disebabkan karena kortisol fetus merangsang plasenta menyekresikan estrogen untuk menggertak peningkatan prostaglandin F dari endometrium uterus dan merangsang peningkatan reseptor oxytocin dari endometrium. Kehadiran prostaglandin F mampu menghambat sekresi progesteron dan merangsang myometrium untuk berkontraksi. Kontraksi dari myometrium tersebut menghasilkan refleks Ferguson sebagai akibat tekanan yang ditimbulkan oleh fetus terhadap cervix dan vagina. Refleks Ferguson tersebut akan memberikan rangsangan terhadap kelenjar hipofisa posterior untuk menyekresikan oxytocin. Oxytocin, estrogen dan prostaglandin F bekerja secara simultan dalam memberikan rangsangan kuat myometrium untuk berkontraksi sehingga terjadi proses pelepasan perlekatan chorion fetus dari karunkula induk serta pengurangan volume uterus. Pelepasan tersebut disebabkan adanya pengenduran perlekatan antara chorion fetus dan karunkula karena adanya perobekan pembuluh darah sehingga darah lebih banyak keluar (Peters dan Ball, 1987; Schmidt, 2005). Melalui mekanisme inilah memungkinkan proses kelahiran berlangsung dari sejak terjadi dilatasi cervix dan masuknya fetus ke dalam cervix, pengeluaran fetus hingga pengeluaran plasenta.

2.3. Fisiologi Reproduksi Pasca Partus

2.3.1. Pengeluaran Plasenta

Plasenta merupakan penggabungan antara plasenta foetalis (allantochorion) dan plasenta maternalis (endometrium) yang memiliki fungsi fisiologis selama kebuntingan berlangsung. Pembentukan plasenta pada awal kebuntingan merupakan membran fetus atau ekstra embrionik yang berdiferensiasi ke dalam yolk sac, amnion, allantois dan chorion. Ternak sapi memiliki tipe plasenta multiplek atau kotiledoner yaitu sebagian plasenta maternal (karunkula) dan sebagian allantochorion (kotiledon) yang terletak berhimpitan satu sama lain untuk membentuk plasentoma (Partodihardjo, 1980; dan Hafez, 2000).

Hubungan antara kotiledon plasenta dengan karunkula endometrium memiliki beberapa peran penting di antaranya (1) melakukan pertukaran gas, (2) menyalurkan zat-zat makanan dari induk ke fetus, (3) menyalurkan sisa-sisa metabolisme dari fetus ke sistem peredaran darah induk dan (4) biosintesis sterol dengan Ca2+ sebagai second messenger dan protein kinase C sehingga dihasilkan progesteron saat akhir kebuntingan melalui fetal kotiledon (Bearden dan Fuquay, 1992; Stevenson, 2001; Shemesh, 2006).

Pengeluaran plasenta merupakan proses pemisahan membran fetus dari karunkula induk dalam waktu beberapa jam pasca partus. Dalam kondisi normal, membran fetus (plasenta) tersebut akan keluar dari tubuh induk sekitar 6 – 12 jam pasca partus (Peters dan Ball, 1987; Hafez, 2000). Proses pengeluaran plasenta dimulai dari terputusnya tali pusar yang menghubungkan fetus dengan induk selama dalam kandungan sehingga mengakibatkan volume darah dalam vili-vili turun dengan cepat. Semakin menurunnya volume darah dalam pembuluh darah maka vili akan mengkerut dan volume uterus berangsur-angsur menjadi kecil. Sekresi estrogen dan oxytocin yang merangsang kontraksi myometrium akan menyebabkan terjadinya pengurangan volume uterus dan pelepasan kripta-kripta endometrium tempat vili-vili plasenta bertaut dan secara bertahap sisa plasenta dan tali pusar yang menggantung di mulut vulva akan menarik plasenta secara keseluruhan keluar dari uterus (Partodihardjo, 1980).

Pengeluaran plasenta melebihi dari 12 jam maka induk tersebut mengalami retensio secundinarum yaitu gangguan pengeluaran plasenta (Hajurka, dkk., 2005). Hal tersebut dapat terjadi karena melemahnya kontraksi myometrium sebagai akibat rendahnya kalsium dalam darah atau adanya ketidakseimbangan hormon estrogen dan oxytocin serta partus sebelum waktunya (Peters dan Ball, 1987; Goff dan Horst, 1997).

Paritas induk tidak memengaruhi performan pengeluaran plasenta tetapi lebih banyak dipengaruhi oleh manajemen pemeliharaan yang memengaruhi kondisi fisologis induk sapi. Kimura, dkk., (2002) dan Epperson (2005) menyatakan bahwa sistem imunitas tubuh induk sangat berpengaruh terhadap proses pengeluaran plasenta. Kandang tempat melahirkan yang tidak memenuhi persyaratan kebersihan akan memberikan peluang kontaminasi mikroorganisme terhadap organ reproduksi induk sehingga diperlukan perlawanan dan sistem imunitas tubuh agar mikroorganisme yang mengganggu pengeluaran plasenta dapat berkurang jumlahnya.

2.3.2. Pengeluaran Lochia

Lochia merupakan ekskretum cairan yang mengandung runtuhan jaringan uterus yang bercampur dengan mukus, darah, sisa-sisa membran fetus dan cairan fetus yang berwarna merah kecoklatan hingga bening dan dikeluarkan pasca partus (Hafez, 2000 dan Amiridis, dkk., 2001, Palmer, 2003). Hormon kortisol fetus merangsang plasenta menyekresikan estrogen untuk menggertak peningkatan prostaglandin F dari endometrium uterus dan merangsang peningkatan reseptor oxytocin dari endometrium. Kehadiran prostaglandin F mampu menghambat sekresi progesteron dan merangsang myometrium untuk berkontraksi. Kontraksi dari myometrium tersebut menghasilkan refleks Ferguson sebagai akibat tekanan yang ditimbulkan oleh fetus terhadap cervix dan vagina. Refleks Ferguson tersebut akan memberikan rangsangan terhadap kelenjar hipofisa posterior untuk menyekresikan oxytocin. Oxytocin, estrogen dan prostaglandin F bekerja secara simultan dalam memberikan rangsangan kuat myometrium untuk berkontraksi sehingga menyebabkan runtuhnya sel-sel endometrium dan bercampur dengan sekresi cairan uterus yang dihasilkan oleh sel-sel kelenjar endometrium. Berlangsungnya proses kontraksi ritmik yang diikuti pengeluaran runtuhan sel-sel endometrium dan sekresi cairan uterus pasca partus menyebabkan pengeluaran lochia (Peters dan Ball, 1987; Schmidt, 2005).

Volume cairan yang dikeluarkan bergantung paritas. Pluripara umumnya mengeluarkan lochia lebih banyak (1000-2000 ml) dibandingkan primipara (kurang dari 500 ml). Pengeluaran lochia dalam volume besar terjadi antara 1-3 hari dan berangsur menurun mulai hari ke-8. Sekitar hari ke-9 biasanya keluar noda darah dan secara berangsur-angsur cairan akan berwarna bening hingga berakhir antara 14-18 hari pasca partus. Meningkatnya tekanan pembuluh darah arteri pada permukaan karunkula menyebabkan adanya perembesan darah sehingga menimbulkan warna merah pada lochia. Lochia dalam kondisi normal (tanpa kontaminasi bakteri) tidak akan mengeluarkan bau busuk (Arthur, dkk., 1989).

Proses pengeluaran lochia bergantung pada kecepatan pengeluaran plasenta dan keberadaan progesteron pasca partus (Arthur, dkk., 1989 dan Thatcher, dkk., 2006). Induk pasca partus memiliki tiga tipe fase luteal yaitu (a) pendek (4 -12 hari), (b) normal (13 - 20 hari) dan (c) panjang (lebih dari 20 hari) (Terqui, dkk., 1982). Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan progesteron akan memengaruhi lamanya pengeluaran lochia karena menurunnya estrogen akan mengurangi rangsangan kontraksi terhadap uterus. Suatu penelitian membuktikan bahwa pada Pluripara umumnya mengeluarkan cairan lochia lebih banyak (1000-2000 ml) dibandingkan primipara (kurang dari 500 ml) tetapi primipara akan menyerap sebagian lochia ke dalam tubuh sehingga diperlukan waktu bagi proses penyerapan tersebut. Suasana estrogenik dan frekuensi partus yang lebih rendah pada primipara dibandingkan pluripara menyebabkan terhambatnya proses penyerapan sebagian lochia sehingga pengeluaran lochia primipara lebih lama (Arthur, dkk., 1989).

2.3.3. Estrus Pertama Pasca Partus

Secara umum diketahui bahwa berakhirnya estrus yang diakhiri dengan proses ovulasi akan memberikan perubahan dalam konsentrasi progesteron dalam darah. Konsentrasi progesteron sangat rendah (kurang dari 5ng/ml) terjadi pada 1-3 hari sebelum estrus kemudian akan mengalami peningkatan secara drastis pada 4-12 hari pasca estrus dan pada 16-18 hari konsentrasi progesteron akan konstan. Apabila ternak sapi tersebut bunting maka keberadaan progesteron akan meningkat (sama atau lebih dari 5 ng/ml) guna mempertahankan proses kebuntingan, tetapi progesteron akan segera menurun pada 18 hari siklus estrus hingga 2-4 hari sebelum estrus berikutnya berlangsung (Grafik 1) (Rioux dan Rajotte, 2004).

Berlangsungnya proses kebuntingan akan menyebabkan dipertahankannya corpus luteum untuk menghasilkan progesteron hingga dua hari sebelum partus (Hendricks, 2004). Sejak 20 hari sebelum partus, progesteron mulai berangsur menurun sebagai konsekuensi adanya rangsangan kortisol (glukokortikoid) fetus untuk merangsang plasenta menyekresikan estrogen guna menggertak prostaglandin Fdari endometrium uterus serta merangsang reseptor oxytocin dari endometrium. Kehadiran prostaglandin F mampu menghambat sekresi progesteron dan merangsang myometrium untuk berkontraksi (Peters dan Ball, 1987). Seiring penurunan progesteron, fetal estrogen juga berperan dalam perejanan yang meliputi rangsangan myometrium untuk berkontraksi serta relaksasi cervix dan vagina pada saat melahirkan, pengeluaran fetus dan plasenta (McDonald, 1975; Goff dan Horst, 1997; Hafez, 2000; Shemesh, 2006). Di samping itu, estrogen akan merangsang peningkatan hormon prolaktin yang berperan dalam laktogenesis. Keluarnya plasenta pasca partus tidak menghilangkan keberadaan prostaglandin karena hormon tersebut akan disekresikan oleh karunkula uterus induk hingga konsentrasinya menurun seiring dengan menyusutnya ukuran uterus sekitar 14 hari pasca partus (Thatcher, dkk., 2006).

Aktivitas ovarium selama kebuntingan kecenderungan menurun terutama karena LH dalam darah yang rendah. Proses folikulogenesis selama kebuntingan tidak dapat menghasilkan folikel dominan karena tidak tersedianya LH untuk ruptura dinding folikel sehingga folikel tersebut akan mengalami atresia. Kelenjar korteks adrenal yang menghasilkan ACTH dan corticostreroid berperan dalam menekan sekresi LH. Peningkatan pelepasan FSH dari hipofisa anterior pada 5-14 hari pasca partus menyebabkan perkembangan folikel dalam ovarium (Tysseling, dkk., 1998 dan Rensis, 2001). Setelah mengalami 2-3 kali atresia yang umumnya terjadi pada 7-8 hari pencapaian folikel dominan selama siklus estrus berlangsung, maka folikel tersebut baru dapat diovulasikan pada 18-24 hari (Grafik 2 dan 3) (Arthur, dkk., 1989) dan Noseir, 2003) atau 21-24 hari pasca partus (Pate, 1999 dan Rensis, 2001) tetapi umumnya ovulasi tersebut tidak disertai estrus karena kurang memadainya ketersediaan estrogen dari induk.

Grafik 2



Grafik 3. Profil Folikel Dominan 3 Gelombang

(Sumber: Noseir, 2003)

Ukuran folikel dominan akan menentukan jumlah sel granulosa dan produksi estrogen yang berperan dalam penampilan perilaku estrus pertama pasca partus tetapi tidak dilakukan inseminasi karena proses involusi uteri masih berlangsung (Fogwell, 1997). Gelombang folikel akan menentukan lamanya siklus estrus pertama pasca partus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa folikulogenesis dengan dua gelombang memiliki potensi konsentrasi estrogen yang lebih tinggi dan konsentrasi progesteron yang lebih rendah dibandingkan folikulogenesis dengan tiga gelombang yang umum dialami oleh induk sapi (Noseir, 2003). Kemampuan induk sapi primipara dan pluripara dalam menampilkan folikel dominan yang akan diovulasikan dengan ukuran folikel lebih dari 10 mm dan konsentrasi estrogen lebih dari 5,0 pg/ml sangat bergantung pada tingkat keseimbangan energi pasca partus walaupun harus kehilangan sebagian kondisi dan bobot tubuhnya.

Paritas induk tidak memengaruhi performan estrus pertama pasca partus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk sapi laktasi (primipara dan pluripara) mempunyai kemampuan double ovulating (2,5±0,1) dibandingkan sapi dara yang hanya single ovulating (1,0±0,0) sehingga estrogen yang dihasilkan dapat melebihi dari 5,0 pg/ml (Wiltbank, dkk., 1995 dan Noseir, 2003). Kemampuan menghasilkan folikel dominan yang mampu diovulasikan lebih dari satu (double ovulating) pada induk laktasi (primipara dan pluripara) menyebabkan volume folikuler saat estrus meningkat sehingga terpenuhinya ketersediaan estrogen bagi estrus dan kondisi tersebut teraktualisasi dalam intensitas estrus. Sartori, dkk., (2002) mengungkapkan bahwa induk sapi laktasi (primipara dan pluripara) mempunyai volume folikuler (2674,4±126,8 mm³) lebih besar dibanding sapi dara (2202,8±168,5 mm³).

O’Connor dan Wu (2000) menggolongkan induk sapi berdasarkan waktu ovulasi hingga terbentuknya corpus luteum pertama pasca partus di antaranya: (1) kurang dari 40 hari, (2) 40-60 hari dan (3) lebih dari 60 hari. Semakin cepat terjadinya ovulasi pasca partus maka hipotalamus dan hipofisa anterior akan menyekresikan gonadotropin guna kelangsungan folikulogenesis. Secara hormonal, lamanya aktivitas luteal dapat diketahui dari kadar progesteron yaitu bila kadar progesteron lebih dari 3 ng/ml (de Vries dan Veerkamp, 2000).

2.3.4. Involusi Uteri

Involusi uteri adalah kembalinya ukuran dan fungsi uterus dalam kondisi normal seperti sebelum mengalami kebuntingan (Bearden dan Fuquay, 1992; Hafez, 2000). Kondisi tersebut dimulai sejak berakhirnya minggu pertama pasca partus hingga involusi uteri terjadi secara utuh yang ditandai oleh (1) menyusutnya ukuran corpus dan cornua uteri, (2) uterus kembali berada di rongga pelvik, (3) konsistensi dan tekanan uterus normal, (4) degenerasi karunkula yang diikuti oleh regenerasi jaringan epitel uterus serta (5) terbebasnya cervix dari bakteri patogen (Morton, 2004 dan Hajurka, dkk., 2005). Schirar dan Martinet (1982) menyatakan bahwa involusi uteri umumnya terjadi melalui tiga proses yaitu (1) kontraksi, (2) pelepasan jaringan dan (3) regenerasi jaringan.

Peningkatan prostaglandin F pada 7-23 hari pasca partus akan memberikan rangsangan pada myometrium untuk melakukan kontraksi (Kindahl, dkk., 1982). Proses pelepasan jaringan yang berlangsung sekitar 15 hari pasca partus akan diikuti oleh penyusutan beberapa pembuluh darah, regresi kelenjar uterus, penyusutan jumlah dan volume sel uterus. Regenerasi sel epitel uterus dimulai segera setelah partus. Ruang di antara karunkula akan diisi oleh sel-sel epitel yang baru pada 8 hari pasca partus dan proses regenerasi secara keseluruhan akan berlangsung selama 4-5 minggu pasca partus (Schirar dan Martinet, 1982).

Hendricks (2004) menyatakan bahwa selama involusi uteri terjadi dua proses perubahan yaitu makroskopis dan mikroskopis. Perubahan makroskopis meliputi proses penyusutan ukuran uterus yang diikuti oleh pelepasan jaringan dan regenerasi endometrium. Penyusutan ukuran ini disebabkan karena menguatnya kontraksi uterus yang terjadi setiap 3-4 menit selama 24 jam pasca partus. Pada 5-10 hari pasca partus ukuran uterus sudah mengalami penyusutan hingga 50 persen dan relaksasi cervix serta berakhirnya pengelupasan massa karunkula. Sedangkan perubahan mikroskopis meliputi perkembangan sel-sel epitel pada karunkula hingga mencapai 25 hari pasca partus dan tidak adanya kontaminasi bakteri yang akan mengganggu perkembangan sel epitel pada uterus.

Induk sapi pasca partus dalam kondisi normal akan memberikan performan involusi yang signifikan dengan induk sapi yang mengalami retensio sekundinarum, endometritis dan sistik ovari. Hasil penelitian Hajurka, dkk. (2005) mengungkapkan bahwa performan involusi uteri primipara kondisi normal (23,0±5,3 hari) dan yang mengalami kondisi tidak normal (retensio sekundinarum, endometritis atau sistik ovari) (33,7±7,4 hari). Sedangkan pada pluripara kondisi normal (27,3±5,5 hari) dan kondisi tidak normal (37,3±8,2 hari). Namun primipara dalam kondisi normal memberikan kontribusi performan involusi uteri (23,0±5,3 hari) tidak signifikan dengan pluripara (27,3±5,5 hari). Hal ini menunjukkan bahwa paritas induk tidak memengaruhi performan involusi uteri.

Peters dan Ball, (1987); Quintela, dkk., 2003 dan Hendricks (2004) menyatakan bahwa involusi uteri dipengaruhi oleh musim, retensio sekundinarum, gangguan metabolik, hormon dan penyakit. Musim akan memengaruhi involusi uteri yaitu induk sapi yang partus pada musim semi (spring) dan panas (summer) akan mengalami waktu involusi uteri lebih pendek dibandingkan musin dingin (winter). Gangguan metabolik yang memengaruhi keterlambatan involusi uteri apabila kondisi induk sapi pasca partus mengalami penurunan kadar kalsium darah (hypocalcemia) hingga mencapai kurang dari 2,0 mmol/L (Hendricks, 2004). Rendahnya konsentrasi estrogen akan berimplikasi terhadap involusi uteri sehingga menyebabkan berkurangnya kontraksi myometrium dan terjadi retensio sekundinarum (Peters dan Ball, 1987). Penyakit yang dapat memengaruhi involusi uteri umumnya penyakit yang berhubungan dengan uterus seperti pyometra dan endometritis (Quintela, dkk., 2003).

Proses pengamatan involusi uteri dapat dilakukan melalui palpasi rektal, pemotongan ternak dan ultrasonography rektal (Hendricks, 2004). Palpasi rektal untuk mengamati proses involusi uteri merupakan cara yang umum dilakukan, yaitu dengan memerhatikan perubahan struktur dan ukuran yang terjadi pada organ yang diamati pada setiap tahap waktu. Selama tahap pertama (1-8 hari pasca partus) dapat diraba vagina dan dilakukan penekanan pada uterus untuk mengamati kondisi cervix biasanya berada pada tepi anterior dasar tulang pelvis. Permukaan uterus akan terasa keras serta berkerut dan dalam kondisi rileks karunkula akan teraba melalui dinding uterus. Dalam tahap kedua (8-10 hari pasca partus), uterus secara keseluruhan dapat diraba. Struktur karunkula yang seperti kacang dan permukaan uterus akan terasa halus, lunak dan berfluktuasi terutama pada cornua. Pada tahap ketiga ( 10-18 hari pasca partus) corpus uteri akan terasa seperti plastik lunak, tetapi fluktuasi dari karunkula kurang dapat dirasakan, cervix nampak lebih kokoh dan ukuran cornua terus mengecil hingga mendekati cornua sebelum bunting. Tahap keempat (18-25 hari pasca partus) yang merupakan tahap akhir akan terasa adanya peningkatan tekanan uterus dan pengurangan ukuran cornua sebelum bunting hingga mendekati cornua uteri tidak bunting (Hendricks, 2004).

2.3.5. Estrus Kedua Pasca Partus dan Inseminasi Buatan

Kehadiran performan estrus kedua pasca partus menunjukkan bahwa induk sapi perah sudah mengalami keseimbangan energi positif karena titik nadir keseimbangan energi negatif berlangsung hingga 3 minggu pasca partus. Kondisi leptin, insulin dan IGF-I sudah berangsur mengalami peningkatan kearah normal. Leptin dalam kondisi keseimbangan energi positif akan meningkatkan feed intake yang diikuti peningkatan insulin dan IGF-I. Jorritsma, dkk., (2003) menyatakan bahwa insulin dan IGF-I sangat memengaruhi tingkat proliferasi folikel, produksi progesteron, estrogen sel granulosa dan androgen sel theca. Insulin dan insulin-like growth factor-I (IGF-I) mampu mengikat protein bagi kepentingan pertumbuhan folikel dan maturasi folikel dominan sehingga terjadi peningkatan estrogen yang akan menimbulkan estrus kedua pasca partus dan LH bagi kepentingan ovulasi.

Kontribusi leptin, insulin dan IGF-I dalam metabolisme energi induk paritas I lebih diutamakan pada pemenuhan kebutuhan pertumbuhan untuk mencapai kematangan fisiknya. Sedangkan induk paritas II dan III lebih mengutamakan hasil metabolisme energi digunakan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan maturasi folikel ataupun produksi susu. Hasil penelitian Wathes, dkk., (2005) mengungkapkan bahwa primipara memberikan performan estrus kedua pasca partus (78,5±2,42 hari) lebih lama dibandingkan pada pluripara (72,9±1,12 hari).

Performan estrus kedua pasca partus juga menggambarkan uterus sudah mengalami involusi artinya secara fisiologis induk mampu menerima kebuntingan berikutnya. Oleh sebab itulah, estrus kedua pasca partus umumnya digunakan sebagai langkah awal dalam melakukan inseminasi buatan pertama pasca partus. Inseminasi buatan adalah suatu proses mendeposisikan semen ke dalam uterus (intrauterin) atau cervix (intracervical) dengan menggunakan alat artificial copulation. Inseminasi buatan memberikan kontribusi penting dalam days open dan calving interval karena keberhasilan inseminasi pertama pasca partus yang menghasilkan kebuntingan akan memengaruhi lamanya performan reproduksi tersebut.

Waktu yang tepat untuk inseminasi merupakan dasar bagi deposisi semen ke dalam organ reproduksi induk. Pelaksanaan inseminasi yang baik dilakukan pada 12-18 jam yang dihitung dari sejak awal berlangsungnya estrus. .Penentuan waktu tersebut didasarkan pada kemampuan spermatozoa dapat hidup dengan baik pada saluran reproduksi betina selama 18-24 jam, waktu ovulasi sel telur dan daya hidup sel telur untuk dapat dibuahi 10-20 jam. Sedangkan deposisi semen saat inseminasi dapat dilakukan pada corpus uteri, cornua uteri bagian kanan dan cornua uteri bagian kiri (O’Connor dan Peters, 2003). Indikator tingkat keberhasilan pelaksanaan inseminasi pada estrus kedua pasca partus dapat diamati melalui service per conception dan conception rate (Wells dan Burton, 2002).

2.3.5.1. Service per Conception

Service per conception adalah jumlah berapa kali inseminasi buatan (IB) dilakukan hingga induk sapi bunting (Bearden dan Fuquay, 1992). Hal terpenting dalam service per conception penetapan waktu inseminasi. Salah satu yang perlu diperhatikan dalam menentukan waktu inseminasi adalah waktu terjadinya estrus (Gambar 2). Hasil penelitian menyatakan bahwa waktu inseminasi yang dilakukan antara pertengahan estrus (82,5%) dan akhir masa estrus (75,0%) memberikan fertilitas yang baik dibandingkan awal estrus (44,0%) dan 6 jam setelah berakhirnya estrus (62,5%) (McDonald, 1975). Nebel (2003) menyatakan bahwa ovulasi terjadi 24-32 jam setelah awal estrus.

Pada awal estrus terjadi peningkatan hormon estrogen yang akan mengaktualisasikan perilaku estrus dan selanjutnya estrogen akan merangsang LH untuk menggertak ovulasi. Ovum yang sudah diovulasikan mempunyai daya hidup kurang dari 12 jam untuk dapat dibuahi. Sedangkan semen beku yang memperoleh penanganan baik akan memberikan daya hidup spermatozoa kurang dari 36 jam. Sesaat setelah dideposisikan ke dalam uterus, spermatozoa tidak dapat langsung membuahi ovum tetapi harus mengalami proses maturasi atau kapasitasi terlebih dulu di oviduct.


Gambar: 2. Waktu Optimum Inseminasi Induk.

Proses perjalanan spermatozoa menuju oviduct hingga dapat membuahi ovum diperlukan waktu 6-18 jam. Beberapa hasil penelitian menyatakan bahwa paritas induk tidak memberikan perbedaan dalam performan service per conception. Hovi, dkk.,(2002) menyatakan bahwa tidak terdapat perbedaan performan service per conception antara primipara (1,7) dan pluripara (1,6). Sedangkan Wathes, dkk., (2005) mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan service per conception primipara (1,6±0,09) dengan pluripara (1,9±0,08). Meningkatnya service per conception dapat pula disebabkan oleh gangguan reproduksi di antaranya metritis, sistik ovari, abortus dan retensio sekundinarium. Garverick dan Youngquist (1999) menyatakan bahwa gangguan reproduksi akibat metritis dan abortus akan memberikan service per conception sebesar 2,3 dan 2,4 lebih besar dari retensio sekundinarium dan sistik ovari yaitu 2,0 dan 2,1. Hal ini disebabkan karena adanya gangguan pada organ uterus sehingga spermatozoa tidak mampu membuahi ovum dan akhirnya terjadi inseminasi berulang.

2.3.5.2. Conception Rate

Conception rate adalah jumlah induk sapi yang bunting dari sejumlah induk yang diinseminasi pertama pasca partus (Hafez, 2000). Beberapa aktivitas dialami oleh induk sapi pasca partus adalah laktasi, pemulihan kondisi tubuh termasuk organ-organ reproduksi dan aktivitas kembali organ reproduksi dalam menghadapi kebuntingan berikutnya. Ukuran folikel yang akan diovulasikan dan progesteron memiliki hubungan yang signifikan terhadap tingkat konsepsi. Hasil penelitian Vasconcelos, dkk., (2001) menunjukkan bahwa ukuran folikel yang akan diovulasikan memiliki korelasi terhadap sekresi progesteron. Induk laktasi yang memiliki folikel yang akan diovulasikan berukuran kecil (11,5±0,2 mm) akan menghasilkan progesteron yang lebih rendah dibandingkan dengan folikel yang akan diovulasikan berukuran besar (14,5±0,2 mm). Rendahnya sekresi progesteron pasca ovulasi akan menghambat perkembangan embrio sehingga menurunkan conception rate. Hasil penelitian Hadisutanto (1997) terhadap induk sapi di Lembang mengungkapkan bahwa conception rate induk paritas I, II dan III masing-masing sebesar 40,63%, 43,13% dan 53,03%.

Induk yang memperoleh pakan dengan kadar protein tinggi akan memperlihatkan peningkatan kadar nitrogen urea darah sehingga akan menyebabkan perubahan pH uterus dan meningkatnya sekresi prostaglandin Fyang berakibat pada menyusutnya corpus luteum yang berperan dalam memelihara kebuntingan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa induk yang mempunyai kadar nitrogen urea darah 16-18,9 mg/dL akan memberikan conception rate lebih tinggi (57%) dibandingkan dengan induk yang mempunyai kadar nitrogen urea darah di bawah 16 mg/dL (49%) atau 19-21,9 mg/dL (32%) (Butler, dkk., 1996). Sedangkan Ferguson (2003) menyatakan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara primipara (39,5%) dan pluripara (38,4%) dalam memberikan tingkat conception rate.

2.4. Karakteristik Glukosa dan Nitrogen Urea Darah Pasca Partus

Karbohidrat merupakan sumber utama energi yang memberikan kontribusi sekitar 70-80% kebutuhan bahan kering. Hijauan pakan ternak yang merupakan sumber utama energi terdiri dari pati, gula, selulosa, hemiselulosa, lignin dan pektin (Hutjen, 1996). Wattiaux dan Armentano (2006) menyatakan bahwa karbohidrat juga merupakan prekursor lemak dan laktosa. Energi yang bersumber dari selullosa dan hemiselullosa akan memberikan rasa pengenyang (bulky) pada sapi tetapi akan menghambat proses fermentasi di dalam rumen.

Hutjen (1996) menyatakan bahwa melalui pencernaan dan mikroorganisme rumen maka komponen hijauan tersebut akan menghasilkan Volatile Fatty Acid (VFA) atau biasa disebut dengan Asam Lemak Terbang. VFA yang dihasilkan terdiri dari asam asetat (CH3-COOH) sebanyak 55-70%, asam propionat (CH3-CH2-COOH) 15-30% dan asam butirat (CH3-CH2-CH2-COOH) 5-15%. Sedangkan karbohidrat bukan serat yang terdiri dari pati dan gula sederhana dan sebagian besar berasal dari konsentrat akan mengalami proses fermentasi lebih cepat di dalam rumen. Proses ini juga akan meningkatkan produksi VFA terutama asam propionat. Selanjutnya asam propionat akan dikonversi menjadi glukosa dan diserap oleh usus halus kemudian dibawa dan disimpan oleh organ hati.

Overton (2004) menyatakan bahwa induk sapi pada periode transisi dari prepartus menuju pasca partus sangat membutuhkan zat gizi yang bersumber dari glukosa, asam amino dan asam lemak yang berfungsi dalam memenuhi kebutuhan hidup pokok, pembentukan produksi susu dan pemulihan kondisi tubuh pasca partus. Pemenuhan kebutuhan glukosa bersumber dari propionat, asam amino dan laktat. Propionat mampu memberikan kontribusi terhadap glukosa sebesar 32-73% sedangkan asam amino dan laktat masing-masing sebesar 10-30% dan 15%. Induk sapi akan membutuhkan sekitar 500g/hari glukosa guna memenuhi kebutuhan pakan yang menurun selama pasca partus. Induk sapi pada trimester kebuntingan akan membutuhkan energi 1,3-1,5 kali lebih banyak dari kebutuhan hidup pokok. Namun pada periode transisi dari kebuntingan lanjut menuju pasca partus, induk membutuhkan lebih banyak energi untuk memulihkan kondisi tubuh, organ reproduksi dan menyiapkan laktasi tetapi jumlah yang dikonsumsi lebih rendah dari pada jumlah yang dibutuhkan oleh induk tersebut sehingga terjadi keseimbangan energi negatif dan ini merupakan fenomena yang umum terjadi pada induk sapi perah pasca partus.

Secara fisiologis kejadian ini disebabkan karena adanya laktogenesis, menurunnya kadar glukosa darah dan meningkatnya hormon estrogen saat partus yang menyebabkan penurunan dry matter intake sekitar 10-30% dibandingkan sebelum partus (Grummer, 1995 dan Drackley, 2001). Hal inilah yang menyebabkan adanya peningkatan NEFA (Non Esterifed Fatty Acids) dan BHBA (Beta Hydroxy Butiric Acid atau hasil pembentukan asam butirat terabsorsi) yang signifikan pada saat partus (Grummer, 1995). Beberapa penelitian menyatakan bahwa adanya hubungan yang baik antara keseimbangan energi dengan serum NEFA yaitu menguraikan lemak yang berasal dari jaringan adipose (lemak tubuh) untuk dimetabolisir oleh hati menjadi NEFA sebagai sumber energi untuk mengatasi keseimbangan energi negatif.

Konsentrasi NEFA yang berlebih pada saat keseimbangan energi negatif berlangsung akan menyebabkan meningkatnya penyerapan sebagian lemak ke dalam hati sehingga terjadinya penyakit metabolik yaitu ketosis atau adanya akumulasi benda-benda keton dalam darah mencapai lebih dari 9 mg/100 ml (Van Saun, 2000). Selanjutnya Van Saun (2000) menyatakan bahwa sebagian lemak lagi akan dibawa ke luar dari organ hati untuk bergabung dengan protein dalam darah menjadi lipoprotein. Struktur lipoprotein yang membawa lemak dari hati akan menjadi Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dan hubungan keduanya lebih dikenal sebagai kolesterol. Oleh karena itu NEFA dapat juga digunakan untuk menilai kadar kolesterol total dalam darah.

Berakhirnya keseimbangan energi negatif menyebabkan menurunnya NEFA dan BHBA dalam darah. Kondisi tersebut akan diikuti oleh peningkatan kadar insulin yang berperan penting dalam metabolisme karbohidrat sehingga dapat memenuhi kebutuhan produksi susu, pemulihan organ-organ reproduksi pasca partus serta aktualisasi reproduksi berikutnya (Block dan Sanchez, 2005). Selanjutnya dinyatakan oleh Block dan Sanchez (2005) bahwa penurunan hormon insulin saat menjelang partus hingga satu minggu pasca partus karena adanya peningkatan hormon somatotropin yang berfungsi menekan sensitivitas jaringan adipose terhadap insulin. Di samping itu somatotropin akan merangsang kortisol dalam merangsang hati untuk memproduksi lebih banyak glukosa. Hal inilah yang menyebabkan ternak sapi perah lebih banyak memanfaatkan cadangan energi yang tersimpan di dalam hati dalam bentuk glikogen dan selanjutnya diubah menjadi glukosa.

Glukosa merupakan karbohidrat siap pakai yang dapat berasal glukosa dalam ransum atau VFA khususnya asam propionat hasil fermentasi dalam rumen. Glukosa selain penting untuk pertumbuhan dan sumber energi utama pada kondisi keseimbangan energi negatif, juga dibutuhkan oleh sapi perah laktasi untuk sintesa laktosa dan pembentukan ATP dalam proses glikolisis (Lampiran 5). Mengingat pentingnya peranan glukosa maka konsentrasinya dalam darah dipertahankan untuk tetap stabil yaitu 35-55 mg/100 ml (Panicke, dkk., 2002). Pada minggu kedua, glukosa darah meningkat 4 % dan 7% dibandingkan minggu kesatu dan kelima pasca partus (Spicer, dkk., 2002).

Induk paritas I akan lebih mengutamakan pertumbuhan dari pada produksi susu atau reproduksi. Sedangkan induk paritas II dan III lebih mengarahkan kebutuhan energinya untuk memenuhi kebutuhan produksi susu dan reproduksi. Hal ini disebabkan karena induk paritas I baru memiliki kematangan fisik 82-90% sehingga sangat membutuhkan energi bagi pertumbuhan dibandingkan induk paritas II dan III (Wathes, dkk., 2005). Hal inilah yang menyebabkan konsentrasi glukosa darah induk paritas I lebih tinggi dari induk paritas II dan III. Paritas induk mempunyai kontribusi yang besar terhadap tingkat signifikansi glukosa darah pasca partus. Morbeck, dkk., (1991) dan Block, dkk., (2001) menyatakan bahwa glukosa darah primipara (58,0 mg/dL) lebih tinggi dibandingkan pluripara (47±2,0 mg/dL) pada 3 minggu pasca partus.

Induk sapi perah memerlukan sejumlah asam amino yang berasal dari protein untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, reproduksi, pertumbuhan dan produksi susu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa asam amino tersebut sangat penting bagi kepentingan sintesis susu yaitu asam amino methionin dan lysin (Hopkins, 2000). Selain kedua asam amino tersebut, sapi perah yang merupakan ternak ruminansia sangat membutuhkan protein yang berasal dari hasil fermentasi protein di dalam rumen yaitu protein mikroba. Protein mikroba berasal dari hasil degradasi protein di dalam rumen (rumen degradable protein/RDP) dan non degradasi (rumen undegradable protein/RUP). Mikroba di dalam rumen akan memanfaatkan RDP dan RUP menjadi protein mikroba.

Selanjutnya protein mikroba akan mengalami hidrolisis di dalam omasum dan abomasum sehingga terbentuk asam amino dan asam nukleat kemudian asam amino tersebut akan diserap oleh dinding usus halus dan kemudian masuk ke dalam darah. Dalam proses fermentasi RDP akan dihasilkan ammonia yang akan digunakan oleh mikroba rumen hingga menjadi protein mikroba. Apabila pembentukan ammonia terlalu banyak maka akan diserap oleh dinding rumen dan dimetabolisir oleh organ hati yang dikonversi dalam bentuk urea. Urea akan disirkulasi kembali oleh rumen melalui saliva dan diekskresikan melalui urine (Hopkins, 2000). Penyerapan nitrogen ammonia oleh sapi setara dengan 16-73% nitrogen yang dikonsumsi (Huntington dan Archibeque, 1999).

Ahmadzadeh (1994) dan O’Connor dan Wu (2000) menyatakan bahwa kelebihan protein dalam pakan akan memberikan pengaruh negatif terhadap fertilitas karena (1) metabolisme nitrogen menghasilkan ammonia (dari rumen) dan urea (dari hati) yang dalam jumlah berlebih akan bersifat racun, (2) terjadi ketidakseimbangan protein dan energi sehingga memengaruhi metabolisme dan (3) efisiensi penggunaan energi akan mengganggu sekresi gonadotropin dan progesteron. Ammonia di dalam rumen akan membutuhkan tambahan energi untuk metabolisme dan ekskresi urea serta mengakibatkan terganggunya lingkungan uterus sehingga terjadi penurunan performan reproduksi.

Induk sapi yang mengonsumsi protein pakan berkadar tinggi akan menyebabkan peningkatan nitrogen urea di dalam darah/air susu dan pada konsentrasi yang melebihi 19 mg/dL akan berpengaruh terhadap lingkungan uterus yaitu menurunkan pH uterus sehingga menyebabkan kegagalan fertilisasi, mengganggu perkembangan embrio bahkan kematian embrio dini (Canfield, dkk., 1990; Hammond, 1997; Butler, 1998 dan Butler, 2000). Hasil penelitian Muller dan D’Yvoy, (2000) menunjukkan bahwa kadar protein pakan 19,3% memberikan performan ovulasi (16 hari) dan estrus pertama pasca partus (27 hari) lebih baik dibandingkan dengan induk yang memperoleh kadar protein pakan 12,7% dan 16,3%. Performan ovulasi dan estrus pertama pasca partus pada induk yang memperoleh kadar protein pakan 12,7% adalah 18 hari dan 36 hari, sedangkan yang memperoleh protein pakan 16,3% adalah 28,0 hari dan 45,0 hari. Hal ini disebabkan karena induk yang memperoleh pakan dengan kadar protein 12,7% dan 16,3% akan memberikan pengaruh terhadap rendahnya LH dan GnRH sehingga performan ovulasi dan estrus pertama pasca partus menjadi lebih lama. Induk akan memperoleh performan ovulasi dan estrus pertama pasca partus terbaik bila diberikan pakan berkadar protein 19,3%.

Induk yang sudah mengalami involusi uteri, pemberian pakan dengan kadar protein 19,3% akan memberikan pengaruh perpanjangan waktu days open (106 hari) dan service per conception lebih banyak (2,47) dibandingkan days open dan sercive per conception pada induk yang memperoleh pakan berkadar protein 16,3% yaitu 96 hari dan 1,87 serta 12,7% yaitu 69 hari dan 1,47 (Muller dan D’Yvoy, 2000). Hal ini disebabkan karena tingginya urea darah yang menyebabkan perubahan pH uterus yaitu dari pH normal 6,8 menjadi 7,1 saat estrus sehingga merangsang uterus untuk menyekresikan PGF2α yang berakibat pada penurunan progesteron pada 14 hari pasca estrus yang peranannya sangat penting dalam memelihara kebuntingan .(Butler, 1998;; Rhoads, dkk., 2004). Butler (1998) menyatakan bahwa sirkulasi nitrogen urea darah dan glukosa darah akan mencapai puncaknya pada saat 4-6 jam setelah pemberian pakan. Paritas induk tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap estrus pertama dan inseminasi pertama pasca partus serta conception rate kecuali paritas induk dengan kadar protein pakan yang berbeda (Muller dan D’Yvoy, 2000).

2.5. Skor Kondisi Tubuh Pasca Partus

Skor kondisi tubuh merupakan suatu indikator untuk menilai induk sapi terhadap perubahan persediaan lemak terutama lemak bawah kulit (subcutaneous fat) (Garry, 1993 dan McGuire, dkk., 2004). Kelebihan energi tubuh dalam bentuk cadangan lemak tersimpan dalam lemak antar otot (intermuscular fat) dan lemak abdominal (abdominal fat) sehingga apabila terjadi penurunan dry matter intake pasca partus maka kebutuhan energi yang bersumber dari lemak akan dimobilisasi dari lemak antar otot dan lemak abdominal yang merupakan lemak jaringan tubuh (McGuire, dkk., 2004). Selanjutnya dinyatakan oleh McGuire, dkk., (2004) bahwa penilaian skor kondisi tubuh hanya mengamati perubahan lemak bawah kulit (subcutaneous fat) dan tidak menggambarkan kondisi bobot tubuh. Oleh sebab itulah penambahan atau penurunan bobot tubuh tidak selalu mengindikasikan perubahan skor kondisi tubuh karena hanya mengamati perubahan lemak bawah kulit.

Pemenuhan kebutuhan energi untuk kebutuhan produksi susu dan pemulihan kondisi reproduksi pasca partus cukup tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi susu yang dihasilkan pasca partus merupakan faktor utama yang menimbulkan perubahan skor kondisi tubuh yang siginifikan dan terjadi antara 30-55 hari pasca partus pada setiap paritas induknya (Bayram, dkk. 2006). Paritas induk sangat memengaruhi skor kondisi tubuh induk sapi pasca partus. Primipara dalam kondisi laktasi membutuhkan energi bagi pemenuhan kebutuhan hidup pokok, pertumbuhan, produksi susu dan reproduksi. Mengingat kematangan fisik primipara yang baru mencapai 82-90% maka kontribusi energi lebih diutamakan untuk memenuhi pertumbuhan (Wathes, dkk., 2005). Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, maka primipara akan menguraikan sebagian cadangan lemaknya lebih besar dari pada pluripara terutama lemak antar otot dan lemak abdominal. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap skor kondisi tubuh karena berkurangnya intermuscular fat dan abdominal fat akan menyebabkan penurunan permukaan lemak bawah kulit (subcutaneous fat) sehingga terjadi legokan dan penonjolan tulang-tulang pada bagian tubuh tertentu. Encinias dan Lardy (2000) menyatakan bahwa secara umum deposit eksternal atau timbunan lemak bagian luar (subcutaneous) diawali pada bagian (1) pinggang (loin), rusuk (ribs), pangkal ekor (tailhead), dada (brisket), flank, vulva dan atau rektum, kelenjar susu/ambing.

Hasil penelitian Walters, dkk., (2002) dan Morton, (2004) menunjukkan bahwa penurunan kondisi tubuh dalam jumlah kecil pasca partus akan memberikan performan reproduksi yang baik tetapi bila penurunan skor kondisi tubuh mencapai lebih dari satu point dan berlangsung selama 5 minggu pasca partus maka akan berpengaruh terhadap performan reproduksi terutama first breeding postpartum. Mobilisasi lemak jaringan adiposa sangat memengaruhi performan reproduksi karena meningkatnya kondisi tersebut akan menyebabkan berkurangnya prekursor bagi pembentukan hormon. Garry, (1993) menyatakan bahwa induk sapi pasca partus dengan kondisi tubuh gemuk akan memliki potensi gangguan metabolik lebih besar dibandingkan induk dengan kondisi tubuh kurus. Hal ini disebabkan karena induk sapi perah pasca partus dengan kondisi tubuh gemuk cenderung mengalami penurunan yang signifikan terhadap konsumsi bahan kering atau dry matter intake dan sel adipose akan lebih sensitif dalam perombakan lemak (fat breakdown).

Ferguson (1993) dan Pennington (1994) menggunakan sistem skala dalam penilaian skor kondisi tubuh yaitu dari skala 1 hingga 5 yaitu (1) sangat kurus, (2) kurus, (3) sedang, (4) gemuk dan (5) sangat gemuk. Hasil penelitian terhadap penurunan skor kondisi tubuh kurang dari 0.5 unit, 0,5-1,0 unit dan lebih dari 1,0 unit yang dilakukan pada 5 minggu pasca partus menunjukkan bahwa hanya penurunan lebih dari 1,0 unit yang menyebabkan peningkatan waktu ovulasi pertama, inseminasi pertama pasca partus serta menurunkan conception rate (Harris, 1992). Namun kondisi tersebut akan stabil sekitar 90-100 hari pasca partus.

Sedangkan Santosa (2006) dan Santosa (2006) mengemukakan bahwa penentuan kondisi tubuh pada sapi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu (1) pengamatan tulang rusuk dan (2) perabaan tulang belakang. Penentuan banyaknya tulang rusuk yang tampak membayang di balik kulit merupakan penentuan skor kondisi tubuh melalui pengamatan tulang rusuk. Jika sebagian besar tulang rusuk (lebih dari 8 tulang rusuk) tampak membayang di balik kulit berarti memliki skor 1, jika hanya sebagian (kurang dari 8 buah) berarti memiliki skor 2 dan apabila tidak tampak membayang di bawah kulit memiliki nilai skor 3. Penentuan skor kondisi tubuh melalui perabaan tulang belakang yaitu dengan melakukan perabaan dan penekanan daerah pinggang, di bagian tulang belakang setelah rusuk terakhir. Dengan cara perabaan tulang belakang, kondisi tubuh ternak sapi dapat dibagi menjadi 5 kelas, yaitu (1) sangat kurus ( tulang punggung nampak menonjol dan transversus processus) teraba sangat runcing dan tidak terdapat perlemakan di bawah kulit), (2) kurus ( transversus processus hanya dapat teraba oleh ibu jari dan terasa adanya sedikit perlemakan), (3) sedang (transversus processus hanya dapat teraba dengan ibu jari yang ditekankan), (4) gemuk (transversus processus tidak teraba walaupun ibu jari ditekan karena perlemakan agak tebal) dan (5) sangat gemuk (transversus processus tidak dapat teraba dan terasa sekali adanya perlemakan yang sangat tebal).

Moran dan Kyabram (2006) mengemukakan bahwa penilaian skor kondisi tubuh sapi perah dapat dilakukan melalui penampakkan tulang rusuk dan tulang belakang. Ada 8 kriteria untuk menilai skor kondisi tubuh yaitu: 1 ( semua tulang belakang terlihat runcing dan meninggi serta mudah meraba penonjolan tulang rusuk), 2 (daerah sekitar pangkal ekor terlihat sangat legok dan semua tulang belakang terlihat runcing dan meninggi), 3 (daerah sekitar pangkal ekor sangat legok dan tulang rusuk terakhir mudah teraba), 4 (daerah sekitar pangkal ekor sedikit legok dan sebagian tulang rusuk oleh lemak), 5 (daerah sekitar pangkal ekor sudah mulai terisi lemak dan hanya beberapa tulang rusuk yang dapat teraba), 6 (daerah sekitar pangkal ekor sudah terisi lemak dan tulang rusuk tidak dapat teraba lagi), 7 (tulang punggung hanya dapat dirasakan apabila ditekan dan tulang rusuk tidak teraba) dan 8 (tulang belakang sudah ditutupi oleh lapisan lemak dan tidak merasakan tulang rusuk). Hasil penelitian Epperson, (2005) merekomendasikan bahwa skor kondisi tubuh yang baik pada akhir masa kering kandang hingga partus berkisar lebih atau sama dengan 3,0 hingga kurang atau sama dengan 4,0. Jaquette, dkk., (1988) menyatakan bahwa skor kondisi tubuh saat 5 hari pasca partus pada primipara (3,17±0,14) lebih rendah dibandingkan pluripara (3,30±0,19).

2.6. Bobot Tubuh Pasca Partus

Pertumbuhan pada hewan merupakan suatu fenomena universal yang bermula dari suatu sel telur yang telah dibuahi dan berlanjut sampai hewan mencapai dewasa. Campbell dan Lasley (1985) dan Taylor (1992) menyatakan bahwa pertumbuhan adalah meningkatnya jumlah (hyperplasia) dan ukuran (hyperthropy) sel tubuh. Hyperthropy adalah peningkatan ukuran sel sebagai akibat dari akumulasi material nonseluler (protein) seperti albumin dalam darah. Sedangkan hyperplasia adalah peningkatan dalam DNA yang terdapat di dalam inti sel. Keberadaan DNA dapat dijadikan indeks jumlah sel di dalam jaringan dan selama hyperthropy maka ukuran sel meningkat tetapi DNA tetap konstan. Meningkatnya ukuran sel disertai oleh peningkatan protein di dalam sitoplasma. Imbangan protein/DNA dapat digunakan sebagai indikator pertumbuhan dan ini dapat dihasilkan apabila nutrisi dan kondisi lingkungan optimal terpenuhi. Apabila nutrisi meningkat maka imbangan protein/DNA akan meningkat dengan cepat dan laju kecepatan ini disebut compensatory growth (Campbell dan Lasley, 1985).

Bobot tubuh umumnya digunakan sebagai dasar penentuan massa lemak tubuh dan protein tubuh yang menggambarkan konsumsi dan kebutuhan energi. Kelebihan bobot tubuh saat partus akan cenderung menurunkan feed intake dibandingkan induk sapi yang memiliki bobot tubuh normal saat partus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan paritas mempunyai hubungan dengan peningkatan bobot tubuh. Primipara cenderung mempunyai rataan bobot tubuh lebih ringan (447 kg) dibandingkan pluripara (499,5 kg). Rendahnya bobot tubuh akan sangat berhubungan dengan performan reproduksi bahkan induk sapi yang kehilangan lebih dari 10% dari bobot tubuhnya akan mengalami gangguan dalam folikulogenesis dan keterlambatan estrus serta penurunan fertilitas sehingga terjadi perpanjangan days open (Samarŭtel, dkk., 2001 ; Morton, 2004 ; Bayram, dkk., 2006).

2.7. Produksi Susu

Seiring berakhirnya proses partus akan dihasilkan air susu yang merupakan produksi utama induk sapi perah. Telah diketahui bahwa induk sapi pasca partus akan mengalami kondisi keseimbangan energi yang negatif sebagai akibat tidak seimbangnya antara energi yang dikonsumsi dengan energi yang dibutuhkan. Hal ini akan berpengaruh terhadap performan reproduksi terutama days open (Vargas, dkk., 1998). Fenomena reproduksi pasca partus pada induk dengan kemampuan produksi tinggi adalah menurunnya frekuensi LH dan rendahnya progesteron yang dihasilkan sesaat setelah ovulasi pertama pasca partus. Hal tersebut disebabkan menurunnya aktifitas ovarium terutama corpus luteum karena terjadi keseimbangan energi yang negatif. Energi yang tersedia digunakan oleh induk untuk kebutuhan hidup pokok dan pemenuhan produksi susu sehingga prekursor bagi pembentukan hormon progesteron menjadi menurun. Untuk mencukupi kebutuhan tersebut maka organ hati akan merombak cadangan energinya dalam bentuk glukosa (Leroy, 2004).

Lopez, dkk., (2004) menyatakan bahwa adanya hubungan antara jumlah produksi susu yang dihasilkan dengan estrus pertama pasca partus. Induk sapi yang menghasilkan produksi susu 3932±157 kg per 120 hari akan menampilkan performan estrus pertama pasca partus 46,8±4,6 hari. Sedangkan induk yang menghasilkan produksi 4841±60 kg per 120 hari akan menampilkan performan estrus 76,9±7,5 hari. Hal ini disebabkan karena induk yang menghasilkan produksi susu tinggi akan membutuhkan nutrisi yang tinggi pula tetapi apabila pakan yang dikonsumsi tidak memadai akan berakibat penurunan performan reproduksi di antaranya estrus pertama pasca partus karena sebagian besar pakan digunakan untuk memenuhi kebutuhan produksi susu. Induk sapi pasca partus akan mengalami kondisi keseimbangan energi negatif yang menyebabkan terjadi perubahan bobot tubuh. Kehilangan bobot tubuh pada dua minggu pasca partus akan memengaruhi aktifitas ovarium. Beberapa peneliti mengamati bahwa ovulasi pertama pasca partus berlangsung kira-kira 10 hari setelah terjadinya keseimbangan energi negatif mencapai maksimum (O’Connor dan Wu, 2000). Paritas induk dan kemampuan induk sapi pasca partus untuk mengonsumsi bahan kering (dry matter intake) dan protein (protein intake) memberikan kontribusi yang tinggi terhadap produksi susu. Jaquette, dkk., (1988) menyatakan bahwa primipara memiliki kemampuan mengonsumsi bahan kering (12,9 ±0,25 kg) dan protein (3,05±0,05 kg) lebih rendah dibandingkan konsumsi bahan kering dan protein pluripara yaitu (15,4±0,18 kg) dan (3,67±0,03 kg). Hal ini menyebabkan produksi susu yang dihasilkan juga berbeda yaitu 22,0±0,31 kg (primipara) dan 30,9±0,18 kg (pluripara).

2.8. Faktor-faktor yang Berpengaruh Terhadap Masa Kosong (days open)

Masa kosong atau days open adalah jarak waktu antara sapi melahirkan (partus) dengan perkawinan yang menghasilkan kebuntingan sekitar 85 hari (Vargas, dkk., 1998 dan Hafez, 2000). Hafez (2000) menyatakan bahwa days open pada induk sapi perah dipengaruhi oleh beberapa faktor di antaranya (1) inseminasi buatan, yang mencakup teknik inseminasi, penggunaan semen berkualitas baik dan kualitas estrus induk; (2) kesehatan ternak, (3) fertlitas induk dan (4) manajemen yang meliputi rekording, ketepatan dalam deteksi estrus dan nutrisi yang memadai. Salah satu faktor yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap days open adalah masalah pakan ternak. Hal ini disebabkan karena pakan memiliki pengaruh langsung terhadap pembentukan dan sirkulasi hormon, siklus reproduksi, pertumbuhan dan perkembangan embrio dan fetus, pemulihan pasca partus serta performan reproduksi lainnya seperti service per conception dan conception rate. Harris (1992) menyatakan bahwa tingkatan protein dalam pakan yang diberikan mulai 45 hari pasca partus akan memberikan performan days open yang berbeda. Tingkatan protein pakan 12,7% akan memberikan performan days open lebih baik (69 hari) dibandingkan dengan 16,3% dan 19,3% yaitu masing-masing 96 hari dan 106 hari. Tingginya tingkatan protein pakan menyebabkan induk lebih cepat mengalami estrus tetapi memberikan pengaruh yang besar terhadap kondisi lingkungan uterus yaitu penurunan pH uterus dan rangsangan uterus untuk menyekresikan prostaglandin sehingga mengganggu keberadaan corpus luteum dalam menyiapkan kebuntingan.

Suatu penelitian memberikan hasil days open yang terkesan sama antara primipara dan pluripara yaitu 93,9±5,35 hari dan 95,7±2,27 hari tetapi keberlangsungan kebuntingan akan mengalami kegagalan lebih besar pada primipara (21%) dibandingkan pluripara (16%). Hal ini disebabkan karena tingkat kematangan fisik primipara baru mencapai 82-90% bobot tubuh sedangkan kematangan fisik secara penuh dicapai pada induk paritas. Progesteron yang berperan dalam mempertahankan kebuntingan primipara mengalami penurunan akibat penggunaan sebagian energi untuk proses pertumbuhan dan produksi susu (Wathes, dkk., 2005).

2.9. Paritas Induk Sapi

Paritas merupakan suatu periode dalam proses siklus reproduksi ternak dengan indikasi jumlah partus induk ternak. Feliciano,dkk, (2003) menyatakan bahwa paritas digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu: (1) nuliparous (sapi perah dara), (2) primiparous (induk sapi perah yang sudah partus satu kali) dan pluriparous/multiparous (induk sapi perah yang sudah partus lebih dari satu kali). Paritas induk dapat memberikan gambaran tentang pertumbuhan, produksi susu dan performan reproduksi.

Pertumbuhan adalah meningkatnya jumlah (hyperplasia) dan ukuran (hyperthropy) sel tubuh (Campbell dan Lasley, 1985). Paritas induk memiliki kontribusi yang besar terhadap pertumbuhan. Wathes, dkk., (2005) menyatakan bahwa induk paritas I baru mencapai kematangan fisik 82-90% artinya induk sapi tersebut belum mencapai tingkat pertumbuhan yang maksimum. Paritas induk memberikan gambaran produksi susu yang berarti produksi susu yang dihasilkan belum mencapai maksimum karena puncak laktasi dicapai pada induk sapi laktasi ketiga. Primipara memiliki kemampuan menghasilkan produksi lebih rendah (22,0±0,31 kg) dibandingkan pluripara (30,9±0,18 kg). Hal ini disebabkan karena kemampuan primipara memiliki kemampuan mengonsumsi bahan kering (12,9 ±0,25 kg) dan protein (3,05±0,05 kg) lebih rendah dibandingkan konsumsi bahan kering dan protein pluripara yaitu (15,4±0,18 kg) dan (3,67±0,03 kg) (Jaquette, dkk.,1988).

Sedangkan paritas induk sangat menggambarkan reproduksi akan tercermin dari tingkat kematangan organ reproduksi dan sistem saraf pusat karena peranannya dalam menghasilkan dan mengatur sirkulasi hormonal terutama hormon gonadotropin. Oleh sebab itu, paritas induk memiliki kontribusi yang besar dalam performan reproduksi yaitu adanya perbedaan antara primipara dan pluripara. Hasil penelitian Wathes, dkk., (2005) menunjukkan bahwa paritas induk memiliki pengaruh yang besar terhadap performan reproduksi di antaranya bahwa persentase induk yang mengalami keterlambatan ovulasi pertama pasca partus (lebih dari 45 hari) pada pluripara lebih kecil (9%) daripada primipara (21%).

Demikian pula dengan hasil penelitian lain yang menunjukkan bahwa induk sapi laktasi (primipara dan pluripara) mempunyai kemampuan double ovulating (2,5±0,1) dibandingkan sapi dara yang hanya single ovulating (1,0±0,0) sehingga estrogen yang dihasilkan dapat melebihi dari 5,0 pg/ml (Wiltbank, dkk., 2000 dan Noseir, 2003). Kemampuan menghasilkan folikel dominan yang mampu diovulasikan lebih dari satu (double ovulating) pada induk laktasi (primipara dan pluripara) menyebabkan volume folikuler saat estrus meningkat sehingga terpenuhinya ketersediaan estrogen bagi estrus dan kondisi tersebut teraktualisasi dalam intensitas estrus. Sartori, dkk., (2002) mengungkapkan bahwa induk sapi laktasi (primipara dan pluripara) mempunyai volume folikuler (2674,4±126,8 mm³) lebih besar dibanding sapi dara (2202,8±168,5 mm³).

Suatu kajian evaluasi inseminasi buatan yang dihubungkan dengan paritas telah dilakukan oleh Hadisutanto (1997) terhadap induk sapi di Lembang di antaranya conception rate induk paritas I, II dan III. Induk paritas I menunjukkan hasil lebih rendah (40,63%) dibandingkan induk paritas II (43,13%) dan (53,03%). Walaupun faktor eksternal juga memengaruhi hasil conception rate seperti kualitas semen dan kualitas inseminator tetapi faktor internal juga memberikan pengaruh cukup besar terutama menyangkut potensi ovarium. Ovarium bagian kanan memiliki peluang (62%) lebih besar dalam ovulasi pasca inseminasi dibandingkan ovarium sebelah kiri (38%) (Townson, 2002). Faktor paritas kemungkinan memberi pengaruh cukup besar terhadap kondisi tersebut terutama induk paritas III yang dalam kondisi puncak laktasi karena sekresi prolaktin relatif lebih banyak sehingga mampu menggertak ovulasi.

Baca Selengkapnya... »»