THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Jumat, 10 Oktober 2008

BAB IV

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


4.1. Keadaan Umum Daerah Penelitian

Secara geografis, Kecamatan Lembang yang terletak di sebelah utara kota Bandung pada ketinggian 1250 meter di atas permukaan laut. Topografi Kecamatan Lembang merupakan daerah berbukit-bukit dan termasuk daerah yang memiliki elevasi cukup tinggi dengan iklimnya sejuk. Sesuai dengan informasi dari stasiun Klimatologi Balai Penelitian Sayuran Cikole Lembang Bandung, keadaan iklim daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3. Keadaan Iklim Daerah Kecamatan Lembang

(Januari-Desember 2004)

No.

Keadaan Iklim

Besar/Satuan (Rataan)

1.

Suhu udara (harian)

- Minimum

- Maksimum

14,9ºC

25,5ºC

2.

Kelembaban udara (harian)

87,07%

3.

Penguapan (harian)

4,11 mm

4.

Curah hujan (bulanan)

122,86 mm

Sumber: Balai Penelitian Sayuran Cikole Lembang (2004).

Keadaan iklim tersebut di atas dapat mewakili kondisi iklim di daerah penelitian yang terletak di Kampung Pojok Desa Sukajaya, Kampung Keramat Desa Cikahuripan dan Kampung Pasir Wangi Desa Gudang Kahuripan yang memiliki ketinggian relatif sama dengan lokasi Stasiun Klimatologi Cikole. Suhu udara di lokasi penelitian berkisar 14,9ºC - 25,5ºC. Makin, (1980) dan McDowell (1994) menyatakan bahwa suhu lingkungan yang sesuai bagi ternak sapi perah Fries Holland adalah 5,0ºC - 21,0 ºC karena daerah dengan kisaran suhu tersebut merupakan daerah yang nyaman atau thermonetral. Peningkatan suhu 1°C dari suhu tersebut (21°C) menyebabkan penurunan produksi

Pada kisaran suhu 5,0ºC - 21,0 ºC kebutuhan energi untuk mendinginkan tubuh atau memanaskan tubuh adalah minimal sehingga energi dapat digunakan untuk performan produksi. Sedangkan rataan kelembaban udara di daerah penelitian mencapai 87,07% dan kondisi tersebut terlalu tinggi karena rekomendasi kelembaban udara yang nyaman bagi kehidupan ternak sapi perah adalah sekitar 60% (Soedono dan Sutardi, 1969). Namun karena kondisi tersebut sudah berlangsung lama sehingga ternak sapi perah telah mampu beradaptasi secara baik artinya ternak mampu menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan, walaupun produksi susu tidak sebaik di daerah asalnya. Kondisi rataan curah hujan bulanan di daerah penelitian adalah 122,86 mm sedangkan curah hujan yang memadai bagi kehidupan sapi perah sekitar 225 mm/tahun.

Usaha ternak sapi perah di daerah Lembang sudah lama dikenal oleh masyarakatnya secara turun temurun. Dengan mempelajari pengalaman para peternak terdahulu maka diperoleh tambahan pengetahuan bagi para pengikutnya yang kelak berguna bagi kelancaran usaha ternak sapi perah yang dijalankannya. Pengalaman beternak merupakan salah satu faktor penentu bagi berkembangnya usaha ternak sapi perah di daerah tersebut. Umumnya peternak sapi perah di lokasi penelitian merupakan peternak turunan dan sebagai anggota koperasi mendapat pembinaan dari petugas Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara Lembang Bandung.

Adapun jumlah populasi ternak sapi perah di daerah penelitian dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Populasi Ternak Sapi Perah di Daerah Penelitian

Tahun 2005.

No.

Komposisi (Status Fisiologis)

Jumlah

(ekor)

1.

2.

Produktif

  • Induk bunting
  • Induk kosong
  • Dara bunting tua

Non Produktif

  • Dara kosong
  • Pedet jantan
  • Pedet betina

Rataan Produksi Susu

269

383

96

87

31

137

20 liter/hari

Sumber: Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara Lembang (2005).

Induk bunting dan dara bunting tua yang dimaksud dalam Tabel 4. adalah induk dan dara yang sedang mengalami kebuntingan antara 2-9 bulan. Sedangkan induk kosong dan dara kosong adalah induk dan dara yang belum bunting. Makin (1980) menggolongkan ternak sapi perah menjadi sapi produktif (laktasi induk bunting termasuk kering kandang, laktasi tidak bunting/induk kosong serta dara bunting tua) dan sapi non produktif (dara kosong dan pedet) dengan imbangan ideal 60% : 40%. Berdasarkan struktur populasi di daerah penelitian imbangan sapi produktif (74,58%) dan non produktif (25,42%). Hal tersebut menunjukkan suatu kondisi yang cukup produktif ditinjau dari produksi maupun reproduksi. Kondisi ini akan mempermudah dalam proses replacement (sapi pengganti) melalui proses partus karena jumlah induk laktasi bunting dan dara bunting tua cukup besar. Hal ini kemungkinan sebagai akibat postpartum interval yang tidak terlalu lama sehingga berpengaruh terhadap performan produksi dan reproduksi.

Walaupun demikian, fenomena yang juga terjadi pada sebagian peternak sapi perah adalah kebiasaan peternak untuk menunda induk sapi pasca partus untuk diinseminasi merupakan salah satu penyebab meningkatnya jumlah induk kosong. Induk yang diinseminasi pasca partus akan menyebabkan penurunan produksi susu merupakan suatu alasan yang dikemukakan oleh peternak. Estrus akan selalu menimbulkan perubahan fisiologis bagi induk pasca partus meskipun tidak diikuti oleh tindakan inseminasi buatan sehingga terjadinya estrus kedua pasca partus yang tidak diikuti oleh inseminasi buatan akan menimbulkan kerugian bagi peternak karena tidak diperolehnya kelahiran pedet dan produksi susu tetap menurun. Perpanjangan waktu inseminasi akan berpengaruh terhadap performan days open dan calving interval.

4.2. Pengaruh Paritas Induk terhadap Pengeluaran Plasenta

Dari analisis statistika dapat diketahui bahwa pengeluaran plasenta pada berbagai paritas tidak menunjukkan perbedaan berarti bahwa paritas induk tidak memberikan pengaruh terhadap waktu pengeluaran plasenta. Rataan pengaruh paritas induk terhadap pengeluaran plasenta disajikan pada Grafik 4.

Keterangan:

a = induk paritas I, II dan III tidak berbeda dalam pengeluaran plasenta

dengan rataan masing-masing (4,33, 5,06 dan 5,1) dan

standar deviasi (1,35, 1,53 dan 2,14) jam.

Berdasarkan data tersebut di atas bahwa rataan waktu pengeluaran plasenta pasca partus dari 30 ekor induk sapi perah pada setiap paritas induk menunjukkan bahwa waktu pengeluaran plasenta paritas induk I, II dan III masing-masing sebesar 4,33±1,35 jam, 5,06±1,53 jam dan 5,10±2,14 jam (Lampiran 9).

Hasil penelitian McDonald, (1975); Peters dan Ball, (1987); Goff dan Horst, (1997); Hafez, (2000) mengungkapkan bahwa proses pengeluaran plasenta ini diawali dengan proses maturasi dari hipotalamus fetus yang menyekresikan corticotrophic releasing factor untuk merangsang kelenjar hipofisa anterior fetus menghasilkan adrenocorticotropic hormone (ACTH) dan kemudian ACTH tersebut merangsang korteks kelenjar adrenal fetus yang menghasilkan kortisol fetus. Selama berlangsungnya proses kebuntingan, corpus luteum dan plasenta memiliki kontribusi terhadap produksi progesteron guna mempertahankan kebuntingan namun pada 20 hingga 2 hari menjelang partus, konsentrasi progesteron secara berangsur mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena kortisol fetus merangsang plasenta menyekresikan estrogen untuk menggertak peningkatan prostaglandin F dari endometrium uterus dan merangsang peningkatan reseptor oxytocin dari endometrium. Kehadiran prostaglandin F mampu menghambat sekresi progesteron dan merangsang myometrium untuk berkontraksi. Kontraksi dari myometrium tersebut menghasilkan refleks Ferguson sebagai akibat tekanan yang ditimbulkan oleh fetus terhadap cervix dan vagina. Refleks Ferguson tersebut akan memberikan rangsangan terhadap kelenjar hipofisa posterior untuk menyekresikan oxytocin. Oxytocin, estrogen dan prostaglandin F bekerja secara simultan dalam memberikan rangsangan kuat myometrium untuk berkontraksi sehingga terjadi proses pelepasan perlekatan chorion fetus dari karunkula induk serta pengurangan volume uterus. Pelepasan tersebut disebabkan adanya pengenduran perlekatan antara chorion fetus dan karunkula karena adanya perobekan pembuluh darah sehingga darah lebih banyak keluar (Schmidt, 2005). Melalui mekanisme inilah memungkinkan proses kelahiran berlangsung dari sejak terjadi dilatasi cervix dan masuknya fetus ke dalam cervix, pengeluaran fetus hingga pengeluaran plasenta.

Hasil penelitian ini dapat menggambarkan situasi bahwa saat induk sapi perah pada semua paritas menjalani partus kemungkinan dalam kondisi yang tenang atau induk tidak mengalami stres sehingga secara fisiologis pengaturan hormon yang berperan dalam proses pengeluaran plasenta dapat bekerja dengan baik. Kondisi stres menjelang partus akan merangsang kelenjar adrenal untuk menyekresikan hormon adrenalin dalam jumlah relatif tinggi. Apabila keadaan tersebut berlangsung maka akan terjadi penghambatan terhadap pelepasan oxytocin oleh adrenalin sehingga akan menghambat pula kontraksi myometrium, yang pada akhirnya memengaruhi proses pengeluaran plasenta pasca partus (Ruesse, 1982).

Di samping faktor hormonal, pengeluaran plasenta juga dipengaruhi oleh faktor kimiawi (chemotactic) (Schmidt, 2005). Dalam kondsi normal, membran fetus (kotiledon) mengandung neutrofil (chemotactic factor) yang berperan dalam sistem imunitas tubuh. Hasil penelitian Kimura, dkk., (2002) dan Epperson (2005) mengungkapkan bahwa sistem imunitas tubuh induk berpengaruh terhadap proses pengeluaran plasenta. Neutrofil yang merupakan sel darah putih granulosit memiliki peran yang penting dalam sistem imunitas tubuh. Neutrofil yang disekresikan oleh kotiledon akan masuk dalam sirkulasi darah untuk mempertahankan serangan mikroorganisme yang mengganggu proses pengeluaran plasenta. Pada kebuntingan lanjut neutrofil akan mengalami penurunan dan mencapai titik terendah (nadir) saat partus berlangsung. Kondisi tersebut akan menyebabkan penurunan sistem imunitas tubuh karena mikroorganisme akan memiliki peluang merusak jaringan tubuh sekitar organ uterus sehingga akan menghambat proses pengeluaran plasenta.

Bearden dan Fuquay, (1992); Subronto dan Tjahajati (2001) menyatakan bahwa kualitas pakan hijauan yang mengalami kekurangan selenium, vitamin E dan vitamin A dapat menyebabkan induk sapi mengalami kesulitan dalam pengeluaran plasenta. Vitamin E yang dapat diperoleh dari biji-bijian dan hijauan pakan ternak mempunyai fungsi mengeliminasi kelebihan mineral selenium sehingga tidak terjadi keracunan. Selenium di antaranya berfungsi sebagai penyusun protein dan lemak di dalam jaringan otot, menjaga keseimbangan asam-basa, menjaga kemampuan kontraksi otot dan kepekaan syaraf. Induk sapi perah pasca partus yang kekurangan selenium akan menurunkan kemampuan myometrium untuk berkontraksi sehingga mengalami gangguan pengeluaran plasenta. Sedangkan vitamin A dibutuhkan oleh induk sapi perah pasca agar tidak mengalami kelemahan fisik pasca partus. Namun kondisi tersebut dapat teratasi apabila protein dan vitamin E dalam pakan cukup mamadai maka konversi karoten menjadi vitamin A dapat berlangsung dengan baik. Hasil penelitian terhadap induk sapi perah di Lembang tidak memberikan indikasi gejala kekurangan selenium serta vitamin A dan E karena induk sapi perah pasca partus tidak mengalami gangguan pengeluaran plasenta. Hal ini menunjukkan bahwa hijauan yang diberikan mempunyai kualitas yang baik.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa paritas induk tidak memiliki pengaruh terhadap waktu pengeluaran plasenta. Kualitas pakan yang memadai, kondisi induk sapi pasca partus yang tidak mengalami stres serta sistem imunitas tubuh yang memadai merupakan faktor menentukan sirkulasi hormonal dapat berjalan baik sehingga proses pengeluaran plasenta berlangsung normal. Dalam kondisi normal, membran fetus (plasenta) tersebut akan keluar dari tubuh induk sekitar 6 – 12 jam pasca partus sehingga induk sapi perah pasca partus yang mengalami waktu pengeluaran plasenta melebihi 12 jam akan mengalami retensio secundinarum (Peters dan Ball, 1987; Hafez, 2000).

4.3. Pengaruh Paritas Induk terhadap Pengeluaran Lochia

Dari analisis statistika dapat diketahui bahwa rataan pengeluaran lochia pada berbagai paritas menunjukkan perbedaan berarti bahwa paritas induk memberikan pengaruh terhadap waktu pengeluaran lochia (P<0.05). style="">

Berdasarkan data tersebut bahwa rataan waktu pengeluaran lochia 30 ekor induk sapi perah pada paritas induk I, II dan III masing-masing sebesar 18,13±5,31 hari, 14,60±4,38 hari dan 16,20±4,54 hari (Lampiran 9).

Keterangan:

a = induk paritas I (18,13±5,31 hari) berbeda nyata dengan induk paritas II

(14,6±4,38 hari) dan III (16,2±4,54 hari) dalam pengeluaran lochia.

b = Induk paritas II (14,6±4,38 hari) dan III (16,2±4,54 hari)I tidak berbeda dalam

pengeluaran lochia.

Hipotalamus fetus yang sudah mengalami maturasi menyekresikan corticotrophic releasing factor untuk merangsang kelenjar hipofisa anterior fetus menghasilkan adrenocorticotropic hormone (ACTH) dan kemudian ACTH tersebut merangsang korteks kelenjar adrenal fetus yang menghasilkan kortisol fetus. Pada 20 hingga 2 hari menjelang partus, konsentrasi progesteron secara berangsur mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena kortisol fetus merangsang plasenta menyekresikan estrogen untuk menggertak peningkatan prostaglandin F dari endometrium uterus dan merangsang peningkatan reseptor oxytocin dari endometrium. Kehadiran prostaglandin F mampu menghambat sekresi progesteron dan merangsang myometrium untuk berkontraksi. Kontraksi dari myometrium tersebut menghasilkan refleks Ferguson sebagai akibat tekanan yang ditimbulkan oleh fetus terhadap cervix dan vagina. Refleks Ferguson tersebut akan memberikan rangsangan terhadap kelenjar hipofisa posterior untuk menyekresikan oxytocin. Oxytocin, estrogen dan prostaglandin F bekerja secara simultan dalam memberikan rangsangan kuat myometrium untuk berkontraksi sehingga menyebabkan runtuhnya sel-sel endometrium dan bercampur dengan sekresi cairan uterus yang dihasilkan oleh sel-sel kelenjar endometrium. Berlangsungnya proses kontraksi ritmik yang diikuti pengeluaran runtuhan sel-sel endometrium dan sekresi cairan uterus pasca partus menyebabkan pengeluaran lochia. Sekresi cairan yang diproduksi oleh sel-sel endometrium akan mendorong runtuhan sel endometrium keluar tubuh sehingga kondisi uterus berangsur-angsur menjadi bersih (Peters dan Ball, 1987; Schmidt, 2005).

Melalui aktivitas hipotalamus terhadap hipofisa anterior disekresikan FSH dari organ ovarium dalam folikulogenesis sehingga dihasilkan folikel dominan yang juga mampu memberikan kontribusi estrogen sehingga ketersediaan estrogen untuk bekerja secara simultan dengan oxytocin dan prostaglandin F dalam merangsang kontraksi myometrium dapat terpenuhi (McDonald, 1975; Peters dan Ball, 1987; Goff dan Horst, 1997; Hafez, 2000).

Kondisi luteal pasca partus pada paritas induk I berlangsung lebih lama dibandingkan dengan paritas II dan III sehingga terjadi penurunan estrogen dalam merangsang uterus untuk berkontraksi. Terqui, dkk., (1982) menyatakan bahwa induk pasca partus memiliki tiga tipe fase luteal yaitu (a) pendek (4 -12 hari), (b) normal (13 - 20 hari) dan (c) panjang (lebih dari 20 hari). Proses penurunan estrogen pada paritas induk I sangat berhubungan dengan kecepatan pengelupasan jaringan atau massa nekrotik dari karunkula karena kontraksi uterus juga menurun sehingga memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengeluarkan lochia. Arthur, dkk., (1989) menyatakan bahwa pengelupasan massa nekrotik yang menempel pada myometrium terjadi antara 48 jam hingga 5 hari pasca partus.

Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses pengeluaran lochia pada induk paritas I lebih lama dibandingkan induk paritas II dan III. Hasil penelitian Arthur, dkk., (1989) mengungkapkan bahwa pluripara umumnya mengeluarkan cairan lochia lebih banyak (1000-2000 ml) dibandingkan primipara (kurang dari 500 ml). Volume cairan lochia yang banyak akan mengalami pengeluaran yang lebih cepat karena memperoleh tekanan yang lebih besar dibandingkan volume cairan lochia yang sedikit. Namun kondisi pori-pori yang lebih kecil dan tekanan pembuluh darah yang rendah pada primipara menyebabkan sebagian lochia diabsorpsi oleh tubuh melalui pembuluh darah yang ada di permukaan karunkula (Arthur, dkk., 1989). Di samping itu, suasana estrogenik dan frekuensi partus yang lebih rendah pada primipara dibandingkan pluripara menyebabkan terhambatnya proses penyerapan sebagian lochia sehingga pengeluaran lochia primipara lebih lama (Arthur, dkk., 1989).

4.4. Pengaruh Paritas Induk terhadap Estrus Pertama Pasca Partus

Dari analisis statistika dapat diketahui bahwa rataan estrus pertama pasca partus pada berbagai paritas tidak menunjukkan perbedaan berarti bahwa paritas induk tidak memberikan pengaruh terhadap estrus pertama pasca partus. Rataan pengaruh paritas induk terhadap estrus pertama pasca partus disajikan pada Grafik 6.

Berdasarkan data tersebut bahwa performan estrus pertama pasca partus dari 30 ekor induk sapi perah pada setiap paritas induk menunjukkan bahwa waktu estrus pertama pasca partus paritas induk I, II dan III masing-masing sebesar 33,80±6,60 hari, 30,23±10,33 hari dan 30,43±4,63 hari (Lampiran 9).

Keterangan:

a = induk paritas I, II dan III tidak berbeda dalam timbulnya estrus pertama

pasca partus dengan rataan masing-masing (33,8, 30,23 dan 30,43)

dan standar deviasi (6,60, 10,33 dan 4,63) hari.

Hipotalamus fetus yang sudah mengalami maturasi mempunyai kemampuan menyekresikan corticotrophic releasing factor untuk merangsang kelenjar hipofisa anterior fetus menghasilkan adrenocorticotropic hormone (ACTH). Selanjutnya ACTH tersebut merangsang korteks kelenjar adrenal fetus untuk menghasilkan kortisol fetus. Selama berlangsungnya proses kebuntingan, corpus luteum dan plasenta memiliki kontribusi terhadap produksi progesteron guna mempertahankan kebuntingan namun pada 20 hingga 2 hari menjelang partus, konsentrasi progesteron secara berangsur mengalami penurunan. Hal ini disebabkan karena kortisol fetus merangsang plasenta menyekresikan estrogen untuk menggertak peningkatan prostaglandin F dari endometrium uterus. Secara fisiologis, hormon progesteron akan mengalami penurunan secara drastis kurang dari 10 hari pasca partus karena adanya pengaruh pelepasan prostaglandin F2α. Refleksi dari penurunan progesteron memberikan mekanisme umpan balik terhadap hipotalamus dan hipofisa anterior.

Dalam kurun waktu tersebut, terjadi perkembangan folikel yang terdiri dari 3 fase yaitu fase recruitment, fase selection dan fase dominant. Selanjutnya kondisi tersebut diikuti peningkatan pelepasan FSH dari hipofisa anterior pada 5-14 hari pasca partus hingga menyebabkan folikulogenesis (Tysseling, dkk., 1998 dan Rensis, 2001). Akumulasi estrogen yang bersumber dari folikel dominan dan plasenta mempunyai kemampuan untuk mengaktualisasikan estrus pertama pasca partus. Folikel akan diovulasikan apabila mempunyai ukuran lebih dari 10 mm dengan konsentrasi estrogen lebih dari 5,0 pg/ml (Noseir, 2003). Thatcher, dkk., (2006) mengungkapkan bahwa perkembangan ukuran folikel lebih 10 mm sangat bergantung pada LH. Sedangkan ukuran folikel 3 – 10 mm perkembangannya dipengaruhi oleh FSH dan ukuran di bawah 3 mm tidak dipengaruhi oleh gonadotropin.

Estrus pertama pasca partus dipengaruhi oleh gelombang folikel. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang diungkapkan oleh Townson (2002) bahwa lama estrus dua gelombang folikel adalah 21,2±0,5 hari sedangkan siklus estrus dengan tiga gelombang folikel 24,5±0,7 hari. Umumnya induk sapi mengalami siklus estrus pertama pasca partus dengan tiga gelombang folikel. Kepekaan hipofisa anterior untuk menyekresikan LH pada sapi perah umumnya berlangsung 12-15 hari pasca partus (Peters dan Ball, 1987). Berdasarkan asumsi bahwa induk sapi umumnya mengalami double ovulating dan estrus pertama pasca partus dengan tiga gelombang (24,5±0,7 hari) maka diperkirakan induk laktasi akan mengalami estrus pertama adalah 24,5±0,7 hari dan diikuti oleh konsentrasi estrogen yang memadai (double ovulating). Induk sapi perah laktasi mempunyai kemampuan double ovulating (2,5±0,1) dan volume folikuler (2674,4±126,8 mm³) lebih besar dibandingkan sapi dara yang hanya single ovulating (1,0±0,0) dan volume folikuler (2202,8±168,5 mm³) (Wiltbank, dkk., 2000 dan Sartori, dkk., 2002).

Hasil penelitian terhadap induk sapi di Lembang menunjukkan bahwa estrus pertama pasca partus kadang-kadang memberikan penampilan gejala estrus dengan intensitas yang rendah. Hal tersebut disebabkan rendahnya konsentrasi estrogen yang terkandung dalam folikel dominan, walaupun estrogen tersebut mampu merangsang hipotalamus dan hipofisa anterior untuk menyekresikan LH untuk berlangsungnya ovulasi. Di samping itu, konsentrasi estrogen sangat bergantung pada gelombang folikel saat folikulogenesis berlangsung. FSH sangat penting dalam meningkatkan jumlah sel granulosa, kesinambungan pertumbuhan folikel dan perilaku estrus. Ukuran folikel dominan akan menentukan jumlah sel granulosa dan produksi estrogen (Fogwell, 1997). Noseir (2003) mengungkapkan hasil penelitiannya bahwa folikulogenesis dengan dua gelombang memiliki potensi konsentrasi estrogen yang lebih tinggi (5,95±0,70 pg/ml) dan konsentrasi progesteron yang lebih rendah (0,75±0,27 ng/ml) dibandingkan folikulogenesis dengan tiga gelombang dengan konsentrasi estrogen hanya 5,23±0,29 pg/ml dan progestreon 1,03±0,10 ng/ml.

4.5. Pengaruh Paritas Induk terhadap Involusi Uteri

Dari analisis statistika dapat diketahui bahwa rataan involusi uteri pasca partus pada berbagai paritas tidak menunjukkan perbedaan berarti bahwa paritas induk tidak memberikan pengaruh terhadap involusi uteri pasca partus. Rataan pengaruh paritas induk terhadap involusi uteri pasca partus disajikan pada Grafik 7.

Keterangan:

a = induk paritas I, II dan III tidak berbeda dalam involusi uteri

dengan rataan masing-masing (53,1, 47,56 dan 48,4)

dan standar deviasi (10,63, 12,64 dan 9,93) hari.

Berdasarkan data tersebut di atas bahwa performan involusi uteri pasca partus dari 30 ekor induk sapi perah pada setiap paritas induk menunjukkan bahwa involusi uteri paritas induk I adalah 53,10±10,63 hari, paritas induk II 47,56±12,64 hari dan paritas induk III adalah 48,40±9,93 hari (Lampiran 9). Dari Grafik 7 dapat diketahui bahwa waktu involusi uteri dari semua paritas induk memberikan hasil yang sama artinya bahwa paritas induk tidak memberikan pengaruh terhadap waktu involusi uteri.

Secara fisologis bahwa proses involusi uteri sangat berhubungan dengan kehadiran beberapa hormon pasca partus di antaranya kortisol, oxytocin, estrogen dan prostaglandin F2α. Proses kerja sinergis hormon oxytocin, estrogen dan prostaglandin F memberikan pengaruh yang kuat terhadap kontraksi myometrium sehingga menyebabkan pengeluaran plasenta serta runtuhnya sel-sel endometrium yang bercampur dengan sekresi cairan uterus yang dihasilkan oleh sel-sel kelenjar endometrium. Berlangsungnya proses kontraksi ritmik yang diikuti pengeluaran runtuhan sel-sel endometrium dan sekresi cairan uterus pasca partus menyebabkan pengeluaran lochia. Sekresi cairan yang diproduksi oleh sel-sel endometrium akan mendorong runtuhan sel endometrium keluar tubuh sehingga kondisi uterus berangsur-angsur menjadi bersih. Kondisi tersebut pada akhirnya akan menyebabkan pemendekan jaringan otot sirkuler dan longitudinal dari uterus serta menyusutnya karunkula. Involusi uteri merupakan aktualisasi dari regresi endometrium dan karunkula serta pemendekan jaringan otot sirkuler dan longitudinal dari myometrium.

Involusi uteri yang dihasilkan dari penelitian ini menjelaskan bahwa secara fisiologis induk sapi tersebut memiliki tingkat efektifitas yang tinggi dalam pengaturan hormonal pasca partus dan berhasilnya manajemen pemeliharaan induk sapi terutama yang berhubungan dengan manajemen pakan dan sanitasi kandang. Pemenuhan kebutuhan pakan sangat penting sebagai prekursor dalam proses pembentukan hormon. Walaupun kebutuhan induk sapi terhadap kalsium mengalami sedikit kekurangan tetapi tidak menimbulkan masalah bagi proses involusi uteri.

Suatu hasil penelitian mengungkapkan bahwa induk sapi yang mengalami hypocalcemia. (plasma Ca lebih rendah 7,5 mg/dL) akan menurunkan efektifitas prostaglandin F sehingga kontraksi endometrium serta proses degenerasi dan regenerasi jaringan uterus akan terganggu (Melendez, dkk., 2004). Efektifitas prostaglandin Fendometrium dalam kontraksi uterus merupakan indikator kemungkinan terjadinya kontaminasi bakteri terhadap uterus terutama bakteri gram negatif seperti E.coli, F.necrophorum dan Bacteroides. Kondisi tersebut akan meningkatkan konsentrasi prostaglandin Ftetapi efektifitasnya dalam kontraksi uterus menurun. Hasil penelitian yang diungkapkan oleh Nakao, dkk., (1997) dan Melendez, dkk., (2004) bahwa peningkatan lebih besar atau lamanya keberadaan PGF menandakan terjadinya infeksi uterus. Hasil penelitian terhadap induk sapi di Lembang tidak menampakkan kondisi tersebut karena proses pengeluaran plasenta yang menjadi sumber awal invasi bakteri dapat dihindari. Plasenta yang menggantung di vulva merupakan sarana yang efektif bagi infeksi bakteri ke dalam uterus. Hal ini menunjukkan bahwa adanya korelasi positif antara waktu pengeluaran plasenta dan involusi uteri serta tingkat sanitasi kandang.

Walaupun ukuran cervix uteri pasca partus pluripara lebih besar dari primipara tetapi tidak memengaruhi involusi uteri. Hal ini berarti bahwa paritas induk tidak memberikan tingkat signifikansi terhadap performan involusi uteri dan kondisi ini terlihat dari hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa performan involusi induk paritas I (53,10±10,63 hari) tidak signifikan dengan induk paritas induk II dan III masing-masing sebesar (47,56±12,64 hari) dan (48,40±9,93 hari). Kondisi tersebut sesuai dengan hasil penelitian Hajurka, dkk. (2005) yang mengungkapkan bahwa performan involusi uteri dalam keadaan normal, artinya tidak retensio sekundinarum, endometritis atau sistik ovari pada primipara (23,0±5,3 hari) dan pluripara (27,3±5,5 hari) menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan.

4.6. Pengaruh Paritas Induk terhadap Intensitas Estrus

Hasil persentase intensitas estrus 2 (++) dan 3 (+++) pada setiap paritas induk pada estrus kedua pasca partus dapat dilihat pada Grafik 8.

Keterangan:

· Induk paritas I, II dan III dengan intensitas estrus II masing-masing

sebesar 63,3%, 46,7% dan 73,4%.

· Induk paritas I, II dan III dengan intensitas estrus III masing-masing

Sebesar 36,6%, 53,3% dan 26,6%.

Berdasarkan data tersebut di atas bahwa performan intensitas estrus dari 30 ekor induk sapi perah pada setiap paritas induk menunjukkan bahwa paritas induk I, II dan III dengan intensitas estrus 2 (++) masing-masing sebesar 63,3%, 46,7% dan 73,4% dan intensitas estrus 3 (+++) masing-masing sebesar 36,6%, 53,3% dan 26,6%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa induk paritas I dan III memberikan performan intensitas estrus 2 (++) masing-masing sebesar (63,3%) dan (73,4%) lebih besar dibandingkan induk paritas II (46,7%). Sedangkan induk paritas II memberikan performan intensitas estrus 3 (+++) (53,3%) lebih besar dibandingkan induk paritas I (36,6%) dan induk paritas III (26,6%). Intensitas estrus atau derajat penampakkan estrus merupakan tanda-tanda yang membedakan penampilan estrus yang ditunjukkan oleh induk sapi. Katagori intensitas estrus 2 (++) penampilan estrus yang ditandai gejala gelisah, vulva berwarna merah, agak bengkak dan terdapat lendir transparan. Sedangkan katagori intensitas estrus 3 (+++) ditandai oleh gelisah dan sering melenguh terutama pada malam hari, vulva berwarna merah, agak bengkak dan keluar lendir transparan dari bagian vulva.

Walaupun paritas induk tidak memengaruhi intensitas estrus tetapi adanya perbedaan relatif dalam jumlah persentase intensitas estrus disebabkan karena perilaku estrus tersebut bergantung pada konsentrasi estrogen yang disekresikan oleh folikel de Graaf saat estrus berlangsung. Secara normal akan terjadi peningkatan konsentrasi estrogen dan penurunan konsentrasi progesteron saat proestrus dan estrus berlangsung. Kondisi tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor manajemen, lingkungan dan fisiologis induk sapi terutama penurunan produksi susu yang disebabkan oleh stres yang berhubungan dengan pengaturan suhu tubuh, keseimbangan energi serta perubahan hormonal. Hal tersebut akan berdampak terhadap fluktuasi progesteron hingga di atas 1,0 ng/ml sehingga menekan aktifitas estrogen. Tingginya progesteron akan menurunkan intensitas estrus sehingga aktifitas estrus nampak melemah. Konsentrasi progesteron di bawah 1,0 ng/ml akan mampu meningkatkan aktifitas estrogen. Yoshida dan Nakao (2005) dan Yoshida (2006) mengungkapkan dalam hasil penelitiannya bahwa peningkatan progesteron bukan bersumber dari corpus luteum melainkan dari korteks adrenal sebagai hasil sintesis kortisol. Hal tersebut dibuktikan melalui ovariektomi sapi yang dilanjutkan dengan induksi ACTH (Adrenocorticotropic Hormone) guna merangsang progesteron adrenal melalui peningkatan sintesis kortisol.

Dalam kondisi stres, ACTH dari hipofisa anterior akan merangsang sekresi glukokortikoid dari korteks adrenal terutama kortisol untuk disintesis menjadi progesteron adrenal (Mc.Donald (1975 dan Yoshida, 2006). Peningkatan progesteron tersebut akan mengganggu keseimbangan estrogen sehingga memengaruhi intensitas estrus. Proses peningkatan kortisol dapat juga terjadi karena adanya stres yang dialami oleh induk sapi seperti pasca pemerahan (14,0 - 19,6 ng/ml) dan palpasi rektal (12 – 14 ng/ml), sedangkan konsentrasi kortisol basal pada sapi berkisar 3,8 – 4,4 ng/ml (Yoshida dan Nakao, 2005).

Hasil penelitian terhadap induk sapi di Lembang menunjukkan performan intensitas estrus yang baik artinya gejala estrus dapat nampak dengan jelas. Hal ini membuktikan bahwa adanya perbedaan relatif terhadap kualitas pakan (hijauan dan konsentrat), menurunnya feed intake, proses pemerahan dan produksi susu tidak memberikan kontribusi yang nyata terhadap performan intensitas estrus. Volume folikuler saat estrus sangat memengaruhi konsentrasi estrogen dan kondisi tersebut teraktualisasi dalam intensitas estrus. Volume folikuler dipengaruhi oleh jumlah folikel dominan yang mampu untuk diovulasikan dan kondisi ini terutama lebih besar dimiliki oleh induk sapi laktasi dibandingkan sapi dara (heifer). Hasil penelitian Sartori, dkk., (2002) mengungkapkan bahwa induk sapi laktasi mempunyai volume folikuler (2674,4±126,8 mm³) lebih besar dibanding sapi dara (2202,8±168,5 mm³). Hal tersebut menunjukkan bahwa paritas induk tidak berpengaruh terhadap performan intensitas estrus.

4.7. Pengaruh Paritas Induk terhadap Estrus Kedua Pasca Partus

Dari analisis statistika dapat diketahui bahwa rataan estrus kedua pasca partus pada berbagai paritas menunjukkan adanya perbedaan artinya bahwa paritas induk memberikan pengaruh terhadap estrus kedua pasca partus.(Grafik 9). Performan estrus kedua pasca partus dari 30 ekor induk sapi perah pada setiap paritas induk, ternyata induk paritas I nyata berbeda (83,5±25,74 hari) dibandingkan induk paritas II (68,23±22,83 hari) dan induk paritas III (74,1±24,75 hari) (P<0.05)>

Keterangan:

a = induk paritas I berbeda nyata dengan induk paritas II dan III dalam

estrus kedua pasca partus dengan rataan (83,5) dan standar deviasi (25,74) hari.

b = Induk paritas II dan III tidak berbeda dalam estrus kedua pasca partus

dengan rataan masing-masing (68,23 dan 74,1) dan standar deviasi

(22,83 dan 24,75) hari.

Selama kondisi keseimbangan negatif, induk sapi pasca partus mengalami perubahan keseimbangan energi artinya tingkat konsumsi energi lebih rendah dari jumlah energi yang dibutuhkan oleh tubuh. Hal ini merupakan refleksi dari fluktuasi leptin yaitu hormon protein yang disekresikan oleh jaringan adiposa. Refleksi dari fluktuasi leptin akan diikuti oleh feed intake sehingga penurunan leptin akan menurunkan feed intake. Kondisi tersebut akan diikuti oleh penurunan insulin dan IGF-I (insulin-like growth factor-I) dan pada akhirnya akan memengaruhi performan reproduksi.

Kehadiran performan estrus kedua pasca partus menunjukkan bahwa induk sapi sudah mengalami keseimbangan energi positif karena titik nadir keseimbangan energi negatif berlangsung hingga 3 minggu pasca partus. Dengan demikian, leptin, insulin dan IGF-I sudah berangsur mengalami peningkatan kearah normal. Leptin dalam kondisi keseimbangan energi positif akan meningkatkan feed intake yang diikuti peningkatan insulin dan IGF-I. Hal ini akan berpengaruh terhadap tingkat proliferasi folikel, produksi progesteron, produksi estrogen sel granulosa dan produksi androgen sel theca (Jorritsma, dkk., 2003). Insulin dan insulin-like growth factor-I (IGF-I) juga mampu mengikat protein bagi kepentingan pertumbuhan folikel dan maturasi folikel dominan sehingga terjadi peningkatan estrogen yang akan menimbulkan estrus kedua pasca partus dan LH bagi kepentingan ovulasi. Leptin, insulin dan IGF-I memiliki kontribusi yang penting dalam performan estrus kedua pasca partus (Lucy, 2003).

Induk paritas I berlangsung lebih lama dibandingkan induk paritas II dan III karena kontribusi leptin, insulin dan IGF-I dalam metabolisme energi induk paritas I lebih diutamakan pada pemenuhan kebutuhan pertumbuhan untuk mencapai kematangan fisiknya. Sedangkan induk paritas II dan III lebih mengutamakan hasil metabolisme energi digunakan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan maturasi folikel ataupun produksi susu. Walaupun dalam pemberian pakan tidak membedakan paritas induk tetapi penggunaan hasil metabolisme antar paritas induk terdapat perbedaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa paritas induk sangat memengaruhi waktu performan estrus kedua pasca partus. Di samping metabolisme energi, performan estrus kedua pasca partus juga menggambarkan uterus sudah mengalami involusi artinya secara fisiologis induk mampu menerima kebuntingan berikutnya. Oleh sebab itulah, estrus kedua pasca partus umumnya digunakan sebagai langkah awal dalam melakukan inseminasi buatan pertama pasca partus.

Hasil penelitian Wathes, dkk., (2005) mengungkapkan bahwa primipara memberikan performan estrus kedua pasca partus (78,5±2,42 hari) lebih lama dibandingkan pada pluripara (72,9±1,12 hari). Dari hasil penelitian terhadap induk sapi perah di Lembang menunjukkan bahwa induk paritas II memberikan waktu yang lebih pendek (68,23±22,83 hari) dibandingkan induk paritas III (74,1±24,75 hari) dalam timbulnya estrus kedua pasca partus. Hal ini disebabkan karena induk paritas III menghasilkan produksi susu lebih banyak (puncak laktasi) dari pada induk paritas II sehingga lemak susu lebih banyak mengikat estrogen sedangkan estrogen sangat dibutuhkan untuk aktualisasi estrus.

4.8. Pengaruh Paritas Induk terhadap Sevice per Conception

Service per Conception (S/C) dihitung berdasarkan jumlah straw semen beku yang digunakan hingga pasca inseminasi terakhir yang menyatakan induk sapi perah positif mengalami kebuntingan berdasarkan pemeriksaan kebuntingan secara palpasi rektal pada 40-60 hari pasca inseminasi.

Berdasarkan data tersebut bahwa performan service per conception dari 30 ekor induk sapi perah pada setiap paritas induk menunjukkan bahwa service per conception paritas induk I, II dan III masing-masing sebesar 1,53±0,78; 1,53±0,63 dan 1,33±0,55 (Grafik 10).

Keterangan:

a = induk paritas I, II dan III tidak berbeda dalam service per conception

dengan rataan masing-masing (1,53, 1,53 dan 1,33) dan

standar deviasi (0,78, 0,63 dan 0,55).

Service per conception merupakan representasi fertilitas induk pasca partus. Meningkatnya penggunaan jumlah frekuensi (kali) inseminasi buatan (IB) dalam suatu periode inseminasi hingga diperoleh kebuntingan dapat disebabkan oleh beberapa faktor di antaranya (1) kualitas semen beku, (2) teknik inseminasi dan (3) kondisi induk. Berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis di Laboratorium Balai Inseminasi Buatan Lembang Bandung terhadap kualitas semen beku dari pejantan unggul (proven bull) diperoleh hasil yang baik artinya straw semen beku dinyatakan layak IB (Lampiran 2).

Teknik rektovaginal dalam pelaksanaan inseminasi merupakan teknik inovatif yang memberikan kemudahan dan hasil yang baik dalam fertilitas. Kondisi induk sapi merupakan faktor penting dalam menekan service per conception karena memiliki fluktuasi hormonal dan lingkungan uterus yang bervariasi di antara induk dari berbagai paritas. Thatcher, dkk., (2006) menyatakan bahwa berlangsungnya proses inseminasi sangat ditentukan oleh keberadaan estrogen yang dihasilkan folikel dominan dalam suatu siklus estrus. Estrogen akan memberikan performan intensitas estrus dan elastisitas cervix sehingga mempermudah dalam inseminasi dan memperlancar progresifitas spermatozoa di dalam uterus.

Lingkungan uterus memiliki peran yang besar dalam menekan service per conception karena deposisi semen akan merangsang lingkungan tersebut untuk menyekresikan leukosit yang berperan dalam phagositosit sel sperma sehingga deposisi semen menjadi penting dalam mengurangi mortalitas sel sperma (Hafez,2000). Hal inilah yang menyebabkan deposisi semen dalam organ reproduksi induk terbaik dilakukan pada corpus uteri karena dapat melindungi sperma dari phagositosit dan mengurangi tingkat mortalitas spermatozoa yang disebabkan oleh perubahan pH. Posisi insemination gun yang berada di cervix uteri akan mendeposisikan semen ke dalam corpus uteri menyebabkan kesetaraan pH sehingga antara pH semen yang berkisar 6,4 – 7,8 dan pH corpus uteri (7,8) tidak menimbulkan mortalitas spermatozoa.

Service per conception antar paritas induk yang diperoleh dalam penelitian ini memberikan hasil yang baik. Kualitas semen, teknik inseminasi dan kondisi induk pasca partus mampu memberikan kontribusi dalam service per conception yang baik berdasarkan standar yang dikemukakan oleh Well dan Burton (2002) bahwa service per conception dinyatakan (1) sangat baik : kurang dari 1,5; (2) baik : 1,51-1,81; (3) sedang : 1,81-2,0 dan (4) buruk : lebih dari 2,01. Hasil evaluasi rataan service per conception terhadap induk sapi di Lembang selama tahun 2006 adalah 1,58. Sedangkan hasil penelitian Hadisutanto, (1997) terhadap induk sapi perah di Lembang mengungkapkan bahwa performan service per conception induk paritas I (2,8) tidak menunjukkan signifikansi dengan induk paritas II (2,7) dan III (2,9).

Kondisi saat ini menunjukkan adanya peningkatan manajemen pemeliharaan induk sapi perah di Lembang terutama pakan ternak dan kualitas inseminator yang lebih memadai. Hasil penelitian ini juga seiring dengan penelitian Hadisutanto (1997) dan Wathes (2005) yang menyatakan bahwa paritas induk tidak memengaruhi performan service per conception. Hasil penelitian Wathes, dkk., (2005) mengungkapkan bahwa service per conception primipara (1,6±0,09) dengan pluripara (1,9±0,08) tidak menunjukkan signifikansi.

4.9. Pengaruh Paritas Induk terhadap Conception Rate

Conception rate dihitung berdasarkan persentase induk sapi yang bunting dari seluruh induk sapi yang diinseminasi pertama dari setiap paritas induk. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari setiap paritas induk sebanyak 30 ekor yang positif bunting pada inseminasi pertama untuk induk paritas I (19 ekor), induk paritas II (16 ekor) dan III (21 ekor).

Berdasarkan data tersebut bahwa performan conception rate dari 30 ekor induk sapi perah pada setiap paritas induk menunjukkan bahwa conception rate paritas induk I, II dan III masing-masing sebesar 63,3%, 53,3% dan 70%.(Grafik 11).

Keterangan: Conception rate dihitung berdasarkan persentase induk sapi perah yang bunting

dari seluruh induk sapi yang diinseminasi pertama pada setiap paritas yaitu

I = 63,3%; II = 53,3% dan III 70%.

Ukuran folikel yang akan diovulasikan dan progesteron memiliki hubungan yang signifikan terhadap tingkat konsepsi. Hasil penelitian Vasconcelos, dkk., (2001) menunjukkan bahwa ukuran folikel yang akan diovulasikan memiliki korelasi terhadap sekresi progesteron. Induk laktasi yang memiliki folikel yang akan diovulasikan berukuran kecil (11,5±0,2 mm) akan menghasilkan progesteron yang lebih rendah dibandingkan dengan folikel yang akan diovulasikan berukuran besar (14,5±0,2 mm). Rendahnya sekresi progesteron pasca ovulasi akan menghambat perkembangan embrio sehingga menurunkan conception rate. Mengingat induk sapi laktasi memiliki kemampuan menghasilkan folikel dominan lebih dari satu (double ovulation) dibandingkan sapi dara (single ovulation) sehingga progesteron yang dihasilkan induk laktasi pada 7 hari pasca inseminasi (2,2±0,2 ng/ml) lebih besar dibandingkan sapi dara atau heifer (1,8±0,2 ng/ml) (Sartori, dkk., 2002). Namun kondisi tersebut sangat berhubungan dengan pakan dan keseimbangan energi positif induk pasca partus dalam menyediakan insulin dan insulin-like growth factor-I sehingga ketersediaan progesteron bagi kelangsungan kebuntingan terpenuhi (Jorritsma, 2003).

Progesteron juga memegang peran penting terhadap keberadaan neutrofil yaitu sel darah putih granulosit yang berperan dalam sistem imunitas tubuh sehingga kemungkinan mikroorganisme yang akan mengganggu perkembangan embrio dapat dihindari. Jumlah neutrofil di daerah mukus cervix dipengaruhi oleh konsentrasi progesteron karena jumlah neutrofil mengaktualisasikan banyaknya mikroorganisme yang berusaha mengganggu perkembangan embrio sehingga menurunkan conception rate.

Dari penelitian ini menunjukkan bahwa conception rate antar paritas induk memberikan hasil yang baik. Hasil penelitian Hadisutanto (1997) terhadap induk sapi di Lembang mengungkapkan bahwa conception rate induk paritas I, II dan III masing-masing sebesar 40,63%, 43,13% dan 53,03%. Sedangkan hasil evaluasi rataan conception rate induk sapi di Lembang tahun 2006 sebesar 54,6%. Di samping adanya peningkatan manajemen pakan, pengawasan dan rekording yang ketat dari penelitian ini yaitu dari mulai deteksi estrus pertama pasca partus hingga deteksi kebuntingan menunjukkan bahwa induk sapi pasca partus dari berbagai paritas induk menunjukkan peningkatan conception rate. Paritas induk tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap performan conception rate, kemungkinan disebabkan tidak adanya perbedaan dalam pemberian pakan antar paritas induk. Tingginya angka conception rate pada induk paritas III (70%) kemungkinan dipengaruhi oleh sumber ovulasi dari ovarium. Ovulasi yang terjadi pada ovarium sebelah kiri memberikan conception rate (79%) dibandingkan ovarium sebelah kanan (63%), walaupun secara genetik bahwa peluang ovulasi dari ovarium kiri hanya 38% dan ovarium kanan 62% (Townson, 2002). Kemungkinan lain adalah bahwa induk paritas III lebih banyak mengalami tiga gelombang folikel karena kondisi tersebut menyangkut ketersediaan progesteron yaitu 1,43±0,11 ng/ml dibandingkan dua gelombang yang hanya 0,96±0,07 ng/ml (Noseir, 2003).

Hasil penelitian Ferguson (2003) mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan yang berarti antara primipara (39,5%) dan pluripara (38,4%) dalam memberikan tingkat conception rate. Walaupun beberapa peneliti mengungkapkan bahwa jumlah produksi susu akan memengaruhi conception rate tetapi dari rataan produksi susu antar paritas induk yang diperoleh dari penelitian ini tidak menimbulkan perbedaan conception rate. Pada tingkatan tertentu rataan produksi susu kemungkinan akan menimbulkan perbedaan conception rate karena terjadinya kenaikan produksi susu akan menaikkan jumlah kalori dan suhu tubuh. Kondisi tersebut sangat kritis terhadap conception rate apabila terjadi saat estrus dan inseminasi sehingga akan menimbulkan kematian embrio. Hasil penelitian Yousef (2000) mengungkapkan bahwa meningkatnya suhu rektal sebesar 1ºC dalam 12 jam pasca inseminasi atau uterus sebesar 0,5ºC akan menurunkan conception rate.

4.10. Pengaruh Paritas Induk terhadap Glukosa Darah

Dari analisis statistika dapat diketahui bahwa rataan glukosa darah pasca partus pada berbagai paritas menunjukkan adanya perbedaan (Lampiran 9). Performan glukosa darah dari 30 ekor induk sapi perah pada setiap paritas induknya ternyata paritas induk I menunjukkan perbedaan nyata (51,57±5,56 mg/dL) dibandingkan paritas induk II (45,57±8,01 mg/dL) dan paritas induk III (46,7±8,62 mg/dL) (P<0.05)>

Keterangan:

a = induk paritas I berbeda nyata dengan induk paritas II dan III dalam

glukosa darah dengan rataan (51,57) dan standar deviasi (5,56) mg/dL.

b = Induk paritas II dan III tidak berbeda dalam glukosa darah dengan

rataan masing-masing (45,57 dan 46,7) dan standar deviasi

(8,01 dan 8,62) mg/dL.

Serat kasar yang merupakan sumber karbohidrat utama induk sapi perah diperoleh dari hijauan dan konsentrat. Hijauan merupakan karbohidrat yang terdiri dari struktur pektin, hemiselulosa dan selulosa. Sedangkan gula dan pati merupakan karbohidrat yang berasal dari konsentrat. Hasil fermentasi di dalam rumen menghasilkan asam lemak terbang atau volatile fatty acids yang terdiri dari asam asetat, asam propionat dan asam butirat, selanjutnya diabsorpsi melalui dinding rumen untuk dibawa oleh pembuluh darah dan digunakan sebagai sumber energi dalam memenuhi kebutuhan hidup pokok, memelihara fungsi tubuh, produksi susu, memelihara kondisi tubuh, kebuntingan dan proses pertumbuhan. Apabila terjadi kelebihan energi akan disimpan di dalam hati dalam bentuk glukosa dan lemak tubuh sebagai cadangan energi (Moran, 2005) (Lampiran 3 dan 4).

Periode transisi yang merupakan periode peralihan antara 3 minggu sebelum partus hingga 3 minggu pasca partus adalah periode kritis bagi induk sapi perah. Hal ini disebabkan karena adanya keseimbangan energi negatif yang umumnya terjadi pada induk pasca partus sehingga untuk memenuhi kebutuhan energi digunakan cadangan energi (Drackley, 2004). Hasil penelitian Stanley (2005) mengungkapkan bahwa selama 3 hingga 1 minggu sebelum partus konsentrasi glukosa darah masing-masing sebesar 58,66; 58,27 dan 57,88 mg/dL, sedangkan 1 hingga 3 minggu pasca partus masing-masing sebesar 53,79; 49,09 dan 49,40 mg/dL.

Kondisi ini merupakan refleksi dari fluktuasi leptin yang disekresikan oleh jaringan adiposa. Refleksi dari fluktuasi leptin akan diikuti oleh feed intake sehingga penurunan leptin akan menurunkan feed intake. Selanjutnya akan diikuti oleh penurunan insulin dan IGF-I (insulin-like growth factor-I) dan pada akhirnya akan memengaruhi performan reproduksi. Setelah melalui titik nadir maka induk sapi perah pasca partus mengalami keseimbangan energi positif. Dengan demikian, leptin, insulin dan IGF-I sudah berangsur mengalami peningkatan kearah normal. Leptin dalam kondisi keseimbangan energi positif akan meningkatkan feed intake yang diikuti peningkatan insulin dan IGF-I.

Dari hasil perhitungan zat makanan terhadap induk sapi pasca partus menunjukkan adanya kelebihan konsumsi serat kasar sebesar 4,84 kg/ekor/hari. Kelebihan konsumsi serat kasar dapat membantu induk sapi pasca partus dalam mencukupi kebutuhan energi selama keseimbangan energi negatif berlangsung. Di samping itu, kelebihan konsumsi serat kasar memberikan bulky (rasa kenyang) sehingga induk sapi tidak mudah gelisah walaupun kondisi ini akan mengganggu proses fermentasi serat kasar dalam rumen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelebihan konsumsi serat kasar tidak memberikan pengaruh terhadap perombakan glukosa darah yang melebihi standar normal pada setiap paritas induk. Hal ini disebabkan karena hijauan yang diberikan pada induk sapi memiliki kandungan serat kasar yang bervariasi mengingat ketersediaan hijauan yang sangat terbatas dan bergantung pada musim..

Dari Grafik 12 dan 13. memperlihatkan bahwa glukosa darah induk sapi pada berbagai paritas sangat fluktuatif tetapi masih berada dalam kondisi normal. Sedangkan standard normal glukosa darah sapi yaitu 35-55 mg/dL (Panicke, dkk., 2002). Glukosa sangat memberikan kontribusi yang penting bagi kelangsungan hidup pokok, pertumbuhan, produksi dan reproduksi induk sapi pasca partus. Bahkan laktosa susu pada induk laktasi merupakan bagian dari kualitas susu yang juga menyebabkan peningkatan kebutuhan glukosa.




Hasil studi yang dikemukakan oleh Reynolds (2005) menyatakan bahwa 69,4% dari total glukosa yang diserap oleh kelenjar susu akan digunakan untuk pembentukan laktosa susu. Selama kondisi keseimbangan energi positif, leptin yang berasal dari jaringan adiposa (white adipose tissue) dirangsang oleh insulin dan melalui leptin reseptor akan memengaruhi hipotalamus untuk merangsang peningkatan feed intake atau nafsu makan (appetite). Sejak 4 hari pre-partus, kondisi induk sapi akan mengalami penurunan keseimbangan energi hingga 21 hari pasca partus (Lampiran 10). Dalam kondisi ini, konsentrasi leptin dan insulin akan rendah sehingga feed intake akan menurun. Hasil penelitian Stanley, (2005) mengemukkan bahwa adanya perbedaan rataan glukosa darah, insulin dan leptin pre-partus masing-masing sebesar (49,21 mg/dL; 6,15 µU/mL;4,14 pg/mL) dan pasca partus (43,1 mg/dL; 4,92µU/mL; 2,77 pg/mL).

Kondisi keseimbangan energi negatif yang terjadi pasca partus menyebabkan tubuh akan menguraikan sebagian cadangan energi tubuh (sintesis glukosa) yang disimpan dalam hati dan penguraian asam amino dari otot (skeletal muscle) serta mobilisasi lemak menjadi gliserol, yang kesemuanya akan disintesis menjadi glukosa. Aktualisasi fisik induk sapi pasca partus akan terlihat dari kondisi tubuh terutama induk paritas I karena meningkatnya penguraian cadangan glukosa dan lemak tubuh untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan dan produksi susu sehingga kondisi tubuh akan mengalami penurunan. Secara berurutan bahwa keutamaan pemenuhan kebutuhan energi induk sapi pasca partus adalah untuk hidup pokok, pertumbuhan, produksi susu dan reproduksi (Ferguson, 2003).

Induk paritas I akan lebih mengutamakan pertumbuhan dari pada produksi susu atau reproduksi. Sedangkan induk paritas II dan III lebih mengarahkan kebutuhan energinya untuk memenuhi kebutuhan produksi susu dan reproduksi. Hal ini disebabkan karena induk paritas I baru memiliki kematangan fisik 82-90% sehingga sangat membutuhkan energi bagi pertumbuhan dibandingkan induk paritas II dan III (Wathes, dkk., 2005). Hal inilah yang menyebabkan konsentrasi glukosa darah induk paritas I lebih tinggi dari induk paritas II dan III. Paritas induk mempunyai pengaruh yang besar terhadap tingkat signifikansi glukosa darah pasca partus. Hasil penelitian Morbeck, dkk., (1991) dan Block, dkk., (2001) mengemukakan bahwa glukosa darah primipara dan pluripara pada 3 minggu pasca partus masing-masing sebesar 58,0 mg/dL dan 47±2,0 mg/dL.

4.11. Pengaruh Paritas Induk terhadap Nitrogen Urea Darah

Dari analisis statistika dapat diketahui bahwa rataan nitrogen urea darah pasca partus pada berbagai paritas menunjukkan tidak adanya perbedaan (Lampiran 9). Hal tersebut menunjukkan bahwa paritas induk tidak memberikan pengaruh terhadap performan nitrogen urea darah induk paritas I, II dan III yang masing-masing sebesar 12,41±5,45, 13,40±4,64 dan 12,48±5,03 mg/dL (Grafik 14).

Keterangan:

a = induk paritas I, II dan III tidak berbeda dalam nitrogen urea darah

dengan rataan masing-masing (12,4, 13,4 dan 12,48) dan

standar deviasi (5,45, 4,6 dan 5,03) mg/dL.

Protein bagi kebutuhan induk laktasi bersumber dari protein mikroba berasal dari hasil degradasi protein di dalam rumen (rumen degradable protein/RDP) dan non degradasi (rumen undegradable protein/RUP). Mikroba di dalam rumen akan memanfaatkan RDP dan RUP menjadi protein mikroba. Selanjutnya protein mikroba mengalami hidrolisis di dalam omasum dan abomasum sehingga terbentuk asam amino dan asam nukleat kemudian asam amino tersebut diserap oleh dinding usus halus dan kemudian masuk ke dalam darah. Dalam proses fermentasi RDP dihasilkan ammonia yang selanjutnya digunakan oleh mikroba rumen hingga menjadi protein mikroba. . Apabila pembentukan ammonia terlalu banyak maka akan diserap oleh dinding rumen dan dimetabolisir oleh organ hati yang dikonversi dalam bentuk urea. Urea yang terbentuk disirkulasi kembali oleh rumen melalui saliva dan diekskresikan melalui urine (Butler, 1998; Hopkins, 2000 dan Moran, 2005). (Lampiran 6).

Nitrogen urea darah (NUD) merupakan salah satu cara untuk mengetahui terjadinya kelebihan atau kekurangan protein kasar yang dikonsumsi serta daya cerna protein (Ahmadzadeh, 1994). Dari hasil perhitungan memperlihatkan bahwa induk sapi pasca partus memperoleh pakan dengan standar kebutuhan protein 19% tetapi konsumsi protein pakan ternyata melampui standar yang dibutuhkan induk yaitu 29,14% atau adanya kelebihan konsumsi protein sebesar 10,14% (1,37 kg) (Tabel. 2). Namun hasil analisis Laboratorium tidak menunjukkan adanya kelebihan nitrogen urea darah pada berbagai paritas induk yaitu berkisar antara 12,41±5,45 - 13,40±4,64 mg/dL (Grafik 15). Hal ini yang menjadikan dasar bahwa kelebihan protein yang terjadi akibat kualitas hijauan yang bervariasi tidak memberikan pengaruh terhadap performan nitrogen urea darah karena kandungan nitrogen urea darah dalam tubuh induk sapi dari berbagai paritas mempunyai nilai baik yaitu tidak melebihi 19,0 mg/dL yang merupakan batas tertinggi nitrogen urea darah.

Tingginya kadar protein kasar yang dikonsumsi oleh induk sapi tidak memengaruhi konsentrasi nitrogen urea darah, kemungkinan protein kasar yang dikonsumsi memiliki daya cerna yang rendah. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa di daerah tropis kualitas hijauan yang dikonsumsi oleh induk sapi sangatlah bervariasi sehingga memengaruhi daya cerna hijauan tersebut. Namun adanya kelebihan konsumsi protein ini sangat diperlukan sebagai margin of safety sehingga induk sapi pasca partus tidak mengalami penurunan performan reproduksi akibat kekurangan protein. Konsentrasi nitrogen urea darah yang melebihi 19 mg/dL berpengaruh menurunkan pH uterus dan bersifat toksik atau racun bagi gamet sehingga menyebabkan kegagalan inseminasi buatan.

Pemberian protein pakan berbeda akan memberikan performan reproduksi yang berbeda pula. Hasil penelitian Muller dan D’Yvoy, (2000) menunjukkan bahwa kadar protein pakan 19,3% memberikan performan ovulasi (16 hari) dan estrus pertama pasca partus (27hari) lebih baik dibandingkan dengan induk yang memperoleh kadar protein pakan 12,7% (18 hari dan 36 hari) dan 16,3% (28,0 hari dan 45,0 hari). Hal ini disebabkan karena induk yang memperoleh pakan dengan kadar protein 12,7% dan 16,3% akan memberikan pengaruh terhadap rendahnya LH dan GnRH sehingga performan ovulasi dan estrus pertama pasca partus menjadi lebih lama. Induk akan memperoleh performan ovulasi dan estrus pertama pasca partus terbaik bila diberikan pakan berkadar protein 19,3%. Namun induk yang sudah mengalami involusi uteri, pemberian pakan dengan kadar protein 19,3% akan memberikan pengaruh perpanjangan waktu days open (106 hari) dan service per conception lebih banyak (2,47) dibandingkan days open dan sercive per conception pada induk yang memperoleh pakan berkadar protein 16,3% yaitu 96 hari dan 1,87 serta 12,7% yaitu 69 hari dan 1,47 (Muller dan D’Yvoy, 2000).

Hal ini menunjukkan bahwa induk sapi pasca partus yang belum mengalami involusi uteri membutuhkan kadar protein pakan yang lebih tinggi dibandingkan induk yang sudah mengalami involusi uteri karena protein tersebut sangat diperlukan bagi pemenuhan kebutuhan pemulihan organ reproduksi pasca partus terutama uterus.

Kondisi protein pakan yang tinggi pasca involusi uteri akan menyebabkan peningkatan nitrogen urea darah sehingga terjadi perubahan pH uterus yaitu dari pH normal 6,8 menjadi 7,1 saat estrus sehingga merangsang uterus untuk menyekresikan PGF2α yang berakibat pada penurunan progesteron pada 14 hari pasca estrus yang peranannya sangat penting dalam memelihara kebuntingan .(Butler, 1998;; Rhoads, dkk., 2004). Hasil penelitian terhadap induk sapi pasca partus di Lembang menunjukkan bahwa manajemen pakan tidak membedakan paritas induk sehingga kemungkinan daya cerna antar paritas induk terhadap protein kasar yang dikonsumsi relatif sama. Walaupun terjadi kelebihan konsumsi protein kasar sebesar 1,37 kg (Tabel 2) tetapi kondisinya sangat berfluktuatif bergantung musim dan ketersediaan hijauan pakan. Hal inilah yang menyebabkan paritas induk tidak memengaruhi performan nitrogen urea darah.

4.12. Pengaruh Paritas Induk Terhadap Skor Kondisi Tubuh

Hasil penelitian pengaruh paritas induk terhadap skor kondisi tubuh disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Skor Kondisi Tubuh Induk Sapi Perah

dari Bulan I – III Pasca Partus

Paritas

Induk

Skor Kondisi Tubuh

Jumlah

Induk Sapi

Bulan I

(%)

Jumlah Induk Sapi Bulan II

(%)

Jumlah Induk Sapi Bulan III

(%)

I

1

2

3

4

5

-

-

86,67

13,33

-

-

53,33

46,67

-

-

-

26,67

43,33

13,33

-

II

1

2

3

4

5

-

-

63,33

36,67

-

-

16,67

80,00

3,33

-

-

10,00

73,33

6,67

-

III

1

2

3

4

5

-

-

36,67

63,33

-

-

20,00

60,00

20,00

-

-

13,33

66,67

6,67

-

Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa skor kondisi tubuh 3 pada bulan I pasca partus pada induk paritas I berjumlah (86,67%) lebih besar dibandingkan induk paritas II (63,33%) dan III (36,67%). Hal tersebut menunjukkan bahwa induk paritas I dan II memiliki kondisi tubuh sedang artinya induk sapi perah tersebut dalam kondisi tidak terlalu kurus dan tidak terlalu gemuk. Sedangkan jumlah induk paritas III sebagian besar dalam kondisi gemuk (63,33%). Kondisi ini memperlihatkan bahwa paritas induk memengaruhi skor kondisi tubuh pada bulan I pasca partus. Apabila dihubungkan dengan aktivitas reproduksi pasca partus maka induk sapi perah tersebut sedang mengalami pengeluaran plasenta, pengeluaran lochia dan sebagian induk sapi perah sudah mengalami estrus pertama pasca partus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor kondisi tubuh pada bulan I pasca partus memengaruhi waktu pengeluaran lochia yaitu induk paritas I (18,13±5,3 hari) lebih lama dibandingkan induk paritas II (14,6±4,38 hari) dan III (16,2±4,54 hari). Hal ini disebabkan karena penggunaan zat makanan oleh tubuh induk paritas I lebih diutamakan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan yang baru mencapai 82-90% dibandingkan untuk prekursor pembentukan hormon dan penyediaan protein bagi pemulihan jaringan organ reproduksi pasca partus. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Harris (1992) serta O’Connor dan Wu (2000) mengungkapkan bahwa penurunan skor kondisi tubuh kurang dari 0.5 unit, 0,5-1,0 unit dan lebih dari 1,0 unit yang dilakukan pada 5 minggu pasca partus menunjukkan hanya penurunan lebih dari 1,0 unit yang menyebabkan peningkatan waktu ovulasi pertama dan estrus pertama pasca partus (42 hari dan 62 hari) dibandingkan kurang dari 0,5 unit (27 hari dan 48 hari) dan 0,5-1,0 unit (31 hari dan 41 hari) tetapi kondisi tersebut akan stabil sekitar 90-100 hari pasca partus.

Memasuki bulan II pasca partus, sebagian jumlah induk sapi perah paritas I mengalami penurunan dari skor kondisi tubuh 3 (86,67%) hingga mencapai skor kondisi tubuh 2 (53,33%) dan sebagian lagi dalam kondisi tubuh tetap stabil yaitu 3. Sedangkan jumlah induk sapi paritas I yang pada bulan I mempunyai skor kondisi tubuh 4 (13,33%) ternyata seluruhnya mengalami penurunan skor kondisi tubuh menjadi 3. Pada bulan II pasca partus, skor kondisi tubuh 3 didominasi oleh induk paritas II (80%) dan III (60%). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa paritas induk memiliki pengaruh terhadap performan skor kondisi tubuh pada bulan II pasca partus. Namun aktualisasinya tidak tercermin dalam performan reproduksi estrus pertama pasca partus dan involusi uteri tetapi faktor skor kondisi tubuh memberikan perbedaan terhadap estrus kedua pasca partus yaitu induk paritas I (83,5±25,7 hari) berbeda dengan induk paritas II (68,23±22,83 hari) dan III (74,1±24,7 hari). Hal tersebut disebabkan karena induk sapi perah paritas II dan III tidak terlalu banyak menggunakan cadangan lemaknya (lemak jaringan tubuh) untuk memenuhi kebutuhan energinya sehingga secara berangsur ketersediaan leptin yang dihasilkan dari jaringan adipose meningkat. Selanjutnya feed intake, insulin dan IGF-I mengalami peningkatan sehingga memengaruhi proliferasi folikel, produksi produksi progesteron dan estrogen (Jorritsna, dkk., 2003). Sedangkan induk paritas I pada bulan II pasca partus lebih banyak memobilisasi lemak jaringan tubuh (intermuscular fat dan abdominal fat) menyebabkan penurunan dan berkurangnya ketebalan permukaan lemak bawah kulit (subcutaneous fat) sehingga terjadi legokan dan penonjolan tulang-tulang pada bagian tubuh tertentu.

Kelebihan energi tubuh dalam bentuk lemak tersimpan dalam lemak antar otot (intermuscular fat) dan lemak abdominal (abdominal fat) sehingga kebutuhan energi yang bersumber dari lemak akan dimobilisasi dari lemak antar otot dan lemak abdominal yang merupakan lemak jaringan tubuh. Jadi lemak jaringan tubuh (abdominal fat dan intermuscular fat) merupakan energi tersedia (energy available) yang siap dimobilisasi menjadi glukosa guna memenuhi kebutuhan energi. (McGuire, dkk., 2004). Penyimpanan terakhir lemak adalah di bawah kulit (subcutaneous fat) yang berfungsi dalam menutupi kerangka tubuh serta melindungi tubuh induk sapi dari pengaruh iklim. Hal inilah yang menjadi dasar bahwa skor kondisi tubuh tidak memiliki hubungan dengan bobot tubuh karena penilaian skor kondisi tubuh hanya mengamati perubahan lemak bawah kulit (subcutaneous fat) (McGuire, dkk., 2004).

Meningkatnya mobilisasi lemak jaringan tubuh (intermuscular fat dan abdominal fat) menyebabkan penurunan dan berkurangnya ketebalan permukaan lemak bawah kulit (subcutaneous fat) sehingga terjadi legokan dan penonjolan tulang-tulang pada bagian tubuh tertentu. Hal inilah yang menjadi dasar penilaian skor kondisi tubuh serta penampilan luar (exteriur) induk sapi terlihat gemuk atau kurus. Oleh sebab itu, penambahan atau penurunan bobot tubuh tidak selalu mengindikasikan perubahan skor kondisi tubuh karena hanya mengamati perubahan lemak bawah kulit. Secara umum, deposit eksternal atau timbunan lemak bagian luar (subcutaneous) diawali pada bagian (pinggang (loin), rusuk (ribs), pangkal ekor (tailhead), dada (brisket), flank, vulva dan atau rektum serta terakhir bagian kelenjar susu/ambing (Encinias dan Lardy, 2000).

Berdasarkan hasil perhitungan bahan kering bahwa induk sapi pasca partus pada berbagai paritas di Lembang mampu mengonsumsi sebesar 28,00 kg sehingga mengalami kelebihan bahan kering sebesar 14,50 kg dan melampaui standar kebutuhan yaitu 3,0% dari bobot tubuh (rataan 450 kg) atau 13,50 kg bahan kering (Tabel 2). Namun masing-masing paritas induk mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam menggunakan energi. Menurunnya skor kondisi tubuh pada induk paritas I menunjukkan meningkatnya pemenuhan kebutuhan energi untuk pencapaian tingkat kematangan fisik induk paritas I di samping produksi dan reproduksi. Hasil penelitian Wathes (2005) mengungkapkan bahwa tingkat kematangan fisik primipara sekitar 82-90% sehingga sebagian pemenuhan kebutuhan energi digunakan untuk pertumbuhan dan produksi susu. Butler (2005) juga mengungkapkan bahwa hilangnya sebagian kondisi tubuh pasca partus primipara akibat ketidakseimbangan dry matter intake dengan kebutuhan induk pasca partus sehingga menyebabkan menurunnya ketebalan lemak.

Pada bulan III pasca partus, skor kondisi tubuh 3 masih didominasi oleh induk paritas II (73,33%) dan III (66,67%). Hasil penelitian menunjukkan bahwa paritas induk masih memberikan perbedaan terhadap skor kondisi tubuh pada bulan III pasca partus karena jumlah induk sapi paritas I relatif sedikit yang mencapai skor kondisi tubuh 3 yaitu 43,33%. Kondisi ini ternyata berpengaruh terhadap performan masa kosong (days open) yaitu induk paritas I memiliki masa kosong (106,07±38,11 hari) lebih lama dibandingkan induk paritas II (86,23±29,00 hari) dan III (89,23±38,22 hari).

4.13. Pengaruh Paritas Induk terhadap Bobot Tubuh

Dari analisis statistika dapat diketahui bahwa rataan bobot tubuh pasca partus pada berbagai paritas menunjukkan adanya perbedaan (Lampiran 9). Performan bobot tubuh dari 30 ekor induk sapi perah pada setiap paritas yang diamati hingga induk tersebut dinyatakan positif bunting ternyata paritas induk I menunjukkan perbedaan nyata (432,87±51,50 kg) dibandingkan paritas induk II (465,72±44,00 kg) dan paritas induk III (476,82±45,76 kg) (P<0.05)>


Keterangan:

a = induk paritas I berbeda nyata dengan induk paritas II dan III dalam

bobot tubuh dengan rataan (432,87) dan standar deviasi (51,50) kg.

b = Induk paritas II dan III tidak berbeda dalam estrus kedua pasca partus

dengan rataan masing-masing (465,72 dan 476,82) dan standar deviasi

(44,00 dan 45,76) kg.

Selama masa transisi 3 minggu pre-partus dan pasca partus, induk sapi perah mengalami banyak perubahan dalam sikulasi hormonal, nutrisi, status metabolik dan fisiologis seperti partus dan permulaan laktasi. Perubahan tersebut terjadi karena keseimbangan energi negatif pasca partus dan menurunnya dry matter intake serta meningkatnya kebutuhan energi. Serat kasar yang merupakan sumber karbohidrat utama induk sapi perah diperoleh dari hijauan dan konsentrat. Hasil fermentasi di dalam rumen menghasilkan asam lemak terbang atau volatile fatty acids yang terdiri dari asam asetat, asam propionat dan asam butirat.

Asam asetat yang merupakan produk akhir dari fermentasi serat kasar mempunyai kemampuan untuk membentuk lemak susu. Sedangkan asam propionat merupakan produk akhir dari fermentasi pati dan gula digunakan tubuh terutama untuk menghasilkan laktosa susu dan peningkatan bobot tubuh induk sapi. Asam butirat merupakan hasil metabolisme dari organ hati menghasilkan benda keton. Benda keton digunakan oleh tubuh sebagai sumber energi untuk sintesis asam lemak, membentuk otot kerangka (skeletal muscles) dan jaringan tubuh lainnya (Moran, 2005). Dari hasil perhitungan zat makanan terhadap induk sapi pasca partus menunjukkan adanya kelebihan konsumsi serat kasar sebesar 4,84 kg/ekor/hari. Namun kondisi ini sangat berfluktuatif karena hijauan yang diberikan pada induk sapi memiliki kandungan serat kasar yang bervariasi mengingat ketersediaan hijauan yang sangat terbatas dan bergantung pada musim..

Hasil pengamatan bobot tubuh selama 4 bulan memperlihatkan bahwa penurunan bobot tubuh terjadi hingga satu bulan pasca partus (Grafik 19). Induk sapi paritas I, II dan III pasca partus mengalami penurunan bobot tubuh masing-masing sebesar 28,49 kg (6,38%), 34,83 kg (7,13%) dan 50,26 kg (9,87%). Aktualisasi bobot tubuh pasca partus sangat dipengaruhi oleh kontribusi growth hormone (GH). Hormon tersebut sangat diperlukan untuk merangsang jaringan adiposa memobilisasi lemak tubuh sehingga kebutuhan energi pasca partus dapat terpenuhi (Rhoads, dkk., 2004).

Menurunnya bobot tubuh disebabkan kondisi keseimbangan energi negatif yang dialami induk sapi pasca partus karena terjadi penurunan dry matter intake sehingga diperlukan mobilisasi lemak tubuh untuk memenuhi kebutuhan energi. Setelah satu bulan pasca partus, kondisi bobot tubuh mulai berangsur mengalami peningkatan hingga bulan keempat pasca partus. Menurunnya kontribusi growth hormone (GH) setelah 3 minggu pasca partus akan diikuti oleh peningkatan insulin, leptin dan insulin-like growth factor-I (IGF-I). Leptin dalam kondisi keseimbangan energi positif akan meningkatkan feed intake yang diikuti peningkatan insulin dan IGF-I. Insulin dan insulin-like growth factor-I (IGF-I) memiliki kemampuan untuk mengikat protein bagi kepentingan pertumbuhan dan peningkatan bobot tubuh.

Hasil penelitian Prado-Cooper, dkk., (2006) mengungkapkan bahwa konsumsi zat makanan dan skor kondisi tubuh sangat memengaruhi konsentrasi insulin-like growth factor-I (IGF-I) dan tingginya pengikatan protein akan mempercepat peningkatan bobot tubuh. Di samping itu, induk sapi yang memiliki skor kondisi tubuh tinggi dan atau memiliki kemampuan mengonsumsi zat makanan (nutrient intake) cukup besar menunjukkan induk tersebut mempunyai konsentrasi insulin-like growth factor-I (IGF-I) cukup tinggi.

Bobot tubuh umumnya digunakan sebagai dasar penentuan massa lemak tubuh dan protein tubuh yang menggambarkan konsumsi dan kebutuhan energi. Kelebihan bobot tubuh saat partus akan cenderung menurunkan feed intake dibandingkan induk sapi yang memiliki bobot tubuh normal saat partus karena sel adipose akan lebih sensitif untuk meningkatkan perombakan lemak (fat breakdown). Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan paritas mempunyai hubungan dengan peningkatan bobot tubuh. Primipara cenderung mempunyai rataan bobot tubuh lebih ringan (447 kg) dibandingkan pluripara (499,5 kg) (Samarŭtel, dkk., 2001 dan Morton, 2004).

Dari hasil penelitian terhadap induk sapi di Lembang diperoleh bahwa paritas induk memengaruhi performan bobot tubuh. Induk paritas I memiliki bobot tubuh lebih rendah dibandingkan induk paritas II dan III. Induk paritas I yang baru mencapai tingkat kematangan fisik 82-90% akan memanfaatkan konsumsi protein untuk kebutuhan pertumbuhan baik peningkatan jumlah sel tubuh (hyperplasia) maupun ukuran sel tubuh (hyperthropy). Sedangkan induk paritas II dan III akan memanfaatkan sebagian protein untuk pertumbuhan atau mengganti sel-sel tubuh yang rusak (degeneratif) serta merangsang kepekaan IGF-I untuk mengikat protein bagi kepentingan reproduksi. Rendahnya bobot tubuh akan sangat berhubungan dengan performan reproduksi bahkan induk sapi yang kehilangan lebih dari 10% dari bobot tubuhnya akan mengalami gangguan dalam folikulogenesis dan keterlambatan estrus serta penurunan fertilitas sehingga terjadi perpanjangan days open (Samarŭtel, dkk., 2001 ; Morton, 2004 ; Bayram, dkk., 2006).

4.14. Pengaruh Paritas Induk terhadap Produksi Susu

Hasil penelitian pengaruh paritas induk terhadap produksi susu disajikan pada Grafik 18. Dari analisis statistika performan produksi susu dari 30 ekor induk sapi perah pasca partus ternyata paritas induk I menunjukkan tingkat signifikansi (17,73±2,25 liter/hari) dibandingkan paritas induk II (21,98±3,22 liter/hari) dan paritas induk III (22,59±3,98 liter/hari) (P<0.05)>


Keterangan:

a = induk paritas I berbeda nyata dengan induk paritas II dan III dalam

produksi susu dengan rataan (17,73) dan standar deviasi (2,25) liter/hari.

b = Induk paritas II dan III tidak berbeda dalam estrus kedua pasca partus

dengan rataan masing-masing (21,98 dan 22,59) dan standar deviasi

(3,22 dan 3,98) liter/hari.

Produksi susu merupakan aktualisasi produk fermentasi serat kasar dalam rumen yang menghasilkan asam lemak terbang (volatile fatty acids) yang terdiri asam asetat, asam propionat dan asam butirat. Selama periode transisi hingga 3 minggu pasca partus, induk sapi mengalami kondisi keseimbangan energi negatif sehingga terjadi penundaan kebutuhan energi bagi produksi susu. Hal ini disebabkan karena terjadi penurunan dry matter intake pasca partus disebabkan karena menurunnya sekresi leptin dan insulin. Leptin yang berasal dari jaringan adiposa (white adipose tissue) dirangsang oleh insulin dan melalui leptin reseptor akan memengaruhi hipotalamus untuk merangsang peningkatan feed intake atau nafsu makan (appetite). Namun dalam kondisi keseimbangan energi negatif, konsentrasi leptin dan insulin akan rendah sehingga feed intake akan menurun. Induk yang memiliki tingkat produksi susu tinggi akan memobilisasi lemak jaringan lebih besar dibandingkan induk sapi dengan tingkat produksi susu yang rendah (McGuire, dkk., 2004).

Paritas induk dan kemampuan induk sapi pasca partus untuk mengonsumsi bahan kering (dry matter intake) dan protein (protein intake) memberikan kontribusi yang tinggi terhadap produksi susu. Hasil penelitian Jaquette, dkk., (1988) mengungkapkan bahwa primipara memiliki kemampuan mengonsumsi bahan kering (12,9 ±0,25 kg) dan protein (3,05±0,05 kg) lebih rendah dibandingkan konsumsi bahan kering dan protein pluripara yaitu (15,4±0,18 kg) dan (3,67±0,03 kg). Hal ini menyebabkan produksi susu yang dihasilkan juga berbeda yaitu 22,0±0,31 kg (primipara) dan 30,9±0,18 kg (pluripara). Hasil penelitian Walters, dkk., (2002) juga mengungkapkan bahwa induk paritas I mempunyai kemampuan menghasilkan produksi susu (29,9±1,9 kg) lebih rendah dibanding induk paritas II dan III masing-masing sebesar (39,7±2,0 kg) dan (43,8±1,8 kg). Dari hasil penelitian ini terlihat bahwa induk paritas I memiliki kemampuan menghasilkan rataan produksi susu lebih rendah dari induk paritas II dan III. Pemberian pakan induk sapi pasca partus di Lembang tidak membedakan paritas induk artinya primipara dan pluripara diberikan pakan dalam jumlah dan kualitas yang sama tetapi produksi susu yang dihasilkan berbeda. Induk paritas I, II dan III pasca partus menperoleh rataan konsumsi bahan kering 28,00 kg dan protein kasar 3,94 kg. Adanya perbedaan produksi susu yang dihasilkan disebabkan karena tingkat kebutuhan primipara dan pluripara yang berbeda. Di samping itu, umur induk sapi juga memberikan kontribusi dalam produksi susu. Hasil penelitian Wathes dan Taylor (2002) mengungkapkan bahwa produksi susu yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh umur induk. Primipara yang memiliki umur lebih muda dari pluripara memiliki kemampuan menghasilkan produksi susu lebih rendah. Dalam satu periode laktasi, induk sapi paritas I hanya mampu menghasilkan susu (3318 kg) lebih rendah dibanding induk paritas II dan III masing-masing sebesar (3787 kg) dan (3628 kg) (Bayram, dkk., 2006).

4.15. Formulasi Days Open Induk Sapi Perah

Analisis performan reproduksi pada berbagai paritas induk yang memformulasi days open dapat dilihat pada Tabel 6.

Dari analisis Tabel 6 terlihat bahwa beberapa performan reproduksi yang memformulasi days open di antaranya (1) pengeluaran lochia, (2) glukosa darah, (3) estrus kedua pasca partus, (4) skor kondisi tubuh, (5) bobot tubuh dan (6) produksi susu. Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi performan reproduksi tersebut dalam memengaruhi formulasi masa kosong (days open) sangatlah besar.

Tabel 6. Formulasi Masa Kosong (Days Open) Induk Sapi Perah

No

Paritas Induk

Lochia

(hari)

Glukosa Darah

(mg/dL)

Estrus II Pasca Partus

(hari)

Skor Kondisi Tubuh

(SKT: 3, bulan ke: I, II dan III

dalam %)

Bobot Tubuh

(kg)

Produksi Susu

(liter/hari)

Days Open

(hari)

1

I

18,1 ±

5,31 (a)

51,56 ±

5,56 (a)

83,50 ±

25,74 (a)

I (86,67)

II (46,67)

III (43,33)

432,87 ±

51,50 (a)

17,73 ±

2,25 (a)

106,07 ±

38,11 (a)

2

II

14,6 ± 4,38 (b)

45,56 ±

8,01 (b)

68,23 ±

22,83 (b)

I (63,33)

II (80,00)

III (73,33)

465,73 ±

44,00 (b)

21,98 ±

3,22 (b)

86,23 ±

29,00 (b)

3

III

16,2 ±

4,54 (b)

46,70 ±

8,62 (b)

74,10 ±

24,75 (b)

I (36,67)

II (60,00)

III (66,67)

476,82 ±

45,76 (b)

22,59 ±

3,98 (b)

89,23 ±

38,22 (b)

Keterangan: Huruf kecil pada kolom yang berbeda dengan baris yang sama menunjukkan tingkat

perbedaan dalam performan.

Misalnya days open paritas I mempunyai rataan 106,07 hari dan standar

deviasi 38,11 hari (a) berbeda dengan paritas II dan III masing-masing

(86,23 dan 89,23) dengan standar deviasi (29,00 dan 38,22) hari (b).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa paritas induk memengaruhi performan masa kosong. Performan masa kosong (days open) paritas I (106,07±38,11 hari) memberikan waktu lebih lama dibandingkan masa kosong paritas II (86,23±29,00 hari) dan III (89,23±38,22 hari).

Pengeluaran lochia pada induk paritas I lebih lama dibandingkan induk paritas II dan III. Kondisi ini dipengaruhi oleh beberapa hal di antaranya: (1) proses kontraksi ritmik yang diikuti pengeluaran runtuhan sel-sel endometrium dan sekresi cairan uterus pasca partus menyebabkan pengeluaran lochia. Sekresi cairan yang diproduksi oleh sel-sel endometrium akan mendorong runtuhan sel endometrium keluar tubuh sehingga kondisi uterus berangsur-angsur menjadi bersih (Peters dan Ball, 1987; Schmidt, 2005), (2) kondisi luteal pasca partus pada paritas induk I berlangsung lebih lama dibandingkan dengan paritas II dan III sehingga terjadi penurunan estrogen dalam merangsang uterus untuk berkontraksi. Terqui, dkk., (1982) menyatakan bahwa induk pasca partus memiliki tiga tipe fase luteal yaitu (a) pendek (4 -12 hari), (b) normal (13 - 20 hari) dan (c) panjang (lebih dari 20 hari). Proses penurunan estrogen pada paritas induk I sangat berhubungan dengan kecepatan pengelupasan jaringan atau massa nekrotik dari karunkula karena kontraksi uterus juga menurun sehingga memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengeluarkan lochia. Arthur, dkk., (1989) menyatakan bahwa pengelupasan massa nekrotik yang menempel pada myometrium terjadi antara 48 jam hingga 5 hari pasca partus, (3) volume cairan lochia yang banyak akan mengalami pengeluaran yang lebih cepat karena memperoleh tekanan yang lebih besar dibandingkan volume cairan lochia yang sedikit. Namun kondisi pori-pori yang lebih kecil dan tekanan pembuluh darah yang rendah pada primipara menyebabkan sebagian lochia diabsorpsi oleh tubuh melalui pembuluh darah yang ada di permukaan karunkula (Arthur, dkk., 1989). Di samping itu, suasana estrogenik dan frekuensi partus yang lebih rendah pada primipara dibandingkan pluripara menyebabkan terhambatnya proses penyerapan sebagian lochia sehingga pengeluaran lochia primipara lebih lama (Arthur, dkk., 1989).

Glukosa sangat memberikan kontribusi yang penting bagi kelangsungan hidup pokok, pertumbuhan, produksi dan reproduksi induk sapi pasca partus. Sejak 4 hari pre-partus, kondisi induk sapi akan mengalami penurunan keseimbangan energi hingga 21 hari pasca partus karena adanya penurunan dry matter intake sekitar 10-30% (Grummer, 1995 dan Drackley, 2001). Hal ini disebabkan karena menurunnya insulin, insulin-like growth factor-I (IGF-I) dan leptin. Untuk mengatasi kondisi tersebut maka tubuh akan menguraikan sebagian cadangan energi tubuh (sintesis glukosa) yang disimpan dalam hati dan penguraian asam amino dari otot (skeletal muscle) serta mobilisasi lemak menjadi gliserol, yang kesemuanya akan disintesis menjadi glukosa. Lemak yang berasal dari jaringan adipose (lemak tubuh) akan dimetabolisir oleh hati menjadi NEFA sebagai sumber energi untuk mengatasi keseimbangan energi negatif. Dalam kondisi normal (keseimbangan energi positif) sebagian kelebihan lemak akan dibawa ke luar dari organ hati untuk bergabung dengan protein dalam darah menjadi lipoprotein. Struktur lipoprotein yang membawa lemak dari hati akan menjadi Very Low Density Lipoprotein (VLDL) dan hubungan keduanya lebih dikenal sebagai kolesterol. Namun dalam kondisi keseimbangan energi negatif pembentukan kolesterol akan menurun karena sebagian lemak dimetabolisir menjadi energi sehingga kolesterol yang merupakan prekursor hormon menjadi berkurang dan kondisi tersebut memengaruhi ketersediaan hormon bagi reproduksi. Hal tersebut akan memengaruhi formulasi days open karena prekursor bagi hormon gonadotropin menurun sehingga folikulogenesis, estrus dan ovulasi pasca partus akan terhambat. Leptin dalam kondisi keseimbangan negatif akan menurunkan feed intake yang diikuti penurunan insulin dan IGF-I. Hal ini akan berpengaruh terhadap tingkat proliferasi folikel, produksi progesteron, produksi estrogen sel granulosa dan produksi androgen sel theca (Jorritsma, dkk., 2003). Kemampuan insulin dan insulin-like growth factor-I (IGF-I) dalam mengikat protein bagi kepentingan pertumbuhan folikel dan maturasi folikel dominan juga rendah sehingga terjadi penurunan estrogen yang sangat penting dalam aktualisasi estrus kedua pasca partus dan LH bagi kepentingan ovulasi (Lucy, 2003). Kondisi ini akan memengaruhi formulasi days open karena terjadinya keterlambatan estrus kedua pasca partus menyebabkan tertundanya inseminasi pertama pasca partus sehingga days open menjadi diperpanjang.

Performan estrus kedua pasca partus merupakan proses yang sangat penting dari suatu kegiatan reproduksi setelah induk sapi tersebut mengalami partus. Paritas induk mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap performan estrus kedua pasca partus. Induk paritas III memiliki kemampuan menghasilkan produksi susu yang lebih besar dibandingkan induk paritas I dan II. Beberapa hasil penelitian mengungkapkan bahwa umumnya puncak laktasi dialami oleh induk paritas III. Jumlah produksi susu memiliki hubungan yang positif dengan peningkatan hormon prolaktin. Namun kehadiran prolaktin akan merangsang corpus luteum untuk menyekresikan progesteron yang memengaruhi panjangnya siklus estrus. Panjangnya siklus estrus menggambarkan fungsi dari panjangnya umur corpus luteum yang dengan sekresi utamanya progesteron akan mengadakan suatu hambatan terhadap hipotalamus dan hipofisa anterior sehingga pematangan folikel de Graaf dan ovulasi berikutnya tidak terjadi. Hal inilah yang menyebabkan induk paritas II memiliki performan masa kosong (days open) yang lebih pendek dibandingkan induk paritas III.

Peforman skor kondisi tubuh sangat memengaruhi formulasi days open pada berbagai paritas induk. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa umumnya induk sapi perah pasca partus memberikan performan skor kondisi tubuh 3 atau sedang artinya induk sapi perah tersebut dalam kondisi tidak terlalu kurus atau tidak terlalu gemuk. Skor kondisi tubuh 3 pada bulan I pasca partus pada induk paritas I berjumlah (86,67%) lebih besar dibandingkan induk paritas II (63,33%) dan III (36,67%). Apabila dihubungkan dengan aktivitas reproduksi pasca partus maka induk sapi perah tersebut sedang mengalami pengeluaran plasenta, pengeluaran lochia dan sebagian induk sapi perah sudah mengalami estrus pertama pasca partus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor kondisi tubuh pada bulan I pasca partus memengaruhi waktu pengeluaran lochia yaitu induk induk paritas I (18,13±5,3 hari) lebih lama dibandingkan induk paritas II (14,6±4,38 hari) dan III (16,2±4,54 hari). Hal ini disebabkan karena penggunaan zat makanan oleh tubuh induk paritas I lebih diutamakan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan yang baru mencapai 82-90% dibandingkan untuk prekursor pembentukan hormon dan penyediaan protein bagi pemulihan jaringan organ reproduksi pasca partus.

Pada bulan II pasca partus, skor kondisi tubuh 3 didominasi oleh induk paritas II (80%) dan III (60%). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa paritas induk memiliki pengaruh terhadap performan skor kondisi tubuh pada bulan II pasca partus. Namun aktualisasinya tidak tercermin dalam performan reproduksi estrus pertama pasca partus dan involusi uteri tetapi faktor skor kondisi tubuh memberikan perbedaan terhadap estrus kedua pasca partus yaitu induk paritas I (83,5±25,7 hari) berbeda dengan induk paritas II (68,23±22,83 hari) dan III (74,1±24,7 hari). Hal tersebut disebabkan karena induk sapi perah paritas II dan III tidak terlalu banyak menggunakan cadangan lemaknya (lemak jaringan tubuh) untuk memenuhi kebutuhan energinya sehingga secara berangsur ketersediaan leptin yang dihasilkan dari jaringan adipose meningkat. Selanjutnya feed intake, insulin dan IGF-I mengalami peningkatan sehingga memengaruhi proliferasi folikel, produksi progesteron dan estrogen (Jorritma, dkk., 2003). Kondisi inilah yang menyebabkan skor kondisi tubuh memengaruhi formulasi masa kosong dan menimbulkan adanya perbedaan masa kosong antar paritas induk.

Bobot tubuh merupakan input penting dalam penentuan kebutuhan bahan kering sebagai sumber energi sehingga peningkatan konsumsi bahan kering sangat berpengaruh terhadap peningkatan bobot badan (Friggen, dkk., 2001). Suatu penelitian yang dilakukan oleh O’Connor dan Wu (2000) menyatakan bahwa menurunnya bobot tubuh selama 1-2 minggu pasca partus akan berpengaruh terhadap aktivitas ovarium. Aktualisasi bobot tubuh pasca partus sangat dipengaruhi oleh kontribusi growth hormone (GH). Hormon tersebut sangat diperlukan untuk merangsang jaringan adiposa memobilisasi lemak tubuh sehingga kebutuhan energi pasca partus dapat terpenuhi (Rhoads, dkk., 2004). Kontribusi growth hormone (GH) dalam memobilisasi cadangan lemak yang lebih besar pada induk paritas I akan menurunkan prekursor hormon terutama gonadotropin sehingga menghambat proliferasi dan maturasi folikel, pembentukan estrogen sel granulosa serta pelaksanaan inseminasi pertama pasca partus sehingga days open menjadi diperpanjang. Hal inilah yang menyebabkan performan bobot tubuh memengaruhi days open dan adanya tingkat signifikansi paritas induk terhadap days open.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa formulasi days open dipengaruhi oleh produksi susu. Induk paritas I dengan produksi susu (17,73±2,25 liter/hari) dan days open (106,07±38,11 hari) menunjukkan tingkat signifikansi (P<0,05) style="">days open sebesar (21,98±3,22 liter/hari dan 22,59±3,98 liter/hari) dan (86,23±29,00 hari dan 89,23±38,22 hari). Secara fisiologis bahwa induk sapi pasca partus akan mengalami periode laktasi. Hal tersebut memberikan pengaruh terhadap kondisi fisiologis yaitu induk sapi akan mengalami stres yang disebabkan oleh laktasi dan tidak terpenuhinya nutrisi pasca partus atau under nutrition. Kondisi ini akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan induk pasca partus dan prekursor hormon gonadotropin. Sumber progesteron selama fase folikuler berasal dari corpus luteum dan adrenal korteks. Konsentrasi progesteron dari corpus luteum akan berangsur menurun seiring terjadinya luteolisis tetapi peningkatan konsentrasi progesteron adrenal korteks terjadi seiring peningkatan kortisol (Hollenstein, 2005 dan Yoshida, 2006). Hasil penelitian Yoshida dan Nakao (2005) serta Yoshida (2006) mengungkapkan bahwa stres akibat laktasi yang dialami induk sapi pasca partus akan merangsang kortisol dari kelenjar adrenal bagian korteks (adrenal cortex) sehingga terjadi peningkatan progesteron dari adrenal korteks dan mengakibatkan penekanan penampilan estrus dan memperpanjang days open. Adanya perbedaan formulasi days open antar induk paritas I dengan induk paritas II dan III lebih disebabkan karena induk paritas I menggunakan sebagian zat makanan untuk pertumbuhan tubuh, sedangkan induk paritas II dan III untuk produksi susu. Di samping itu, jumlah produksi susu sangat berhubungan dengan sekresi prolaktin karena berperan dalam laktogenesis tetapi prolaktin juga memiliki kemampuan menggertak ovulasi pertama pasca partus. Kemampuan prolaktin induk paritas I dalam menggertak ovulasi lebih rendah dibandingkan induk paritas II dan III yang memiliki produksi susu relatif tinggi sehingga terjadi keterlambatan ovulasi pertama pasca partus dan kondisi tersebut akan memengaruhi days open.

Days open induk paritas I (106,07±38,11 hari) menunjukkan waktu yang lebih lama dibandingkan days open induk paritas II (86,23±29,00 hari) dan III (89,23±38,22 hari). Formulasi days open menunjukkan hasil yang baik (86,23-106,07 hari) karena dengan rataan lama bunting 278 hari serta dasar calving interval 12-14 bulan maka days open sangat memadai.

Baca Selengkapnya... »»